Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
BAGI sebagian orang, menu masakan seafood menjadi favorit karena rasanya yang lezat. Namun, tidak demikian bagi Fatma Alia.
Terakhir kali, seusai menyantap seafood tiba-tiba ia kesulitan bernapas. Rupanya, ia terserang asma. Itu kali pertama dirinya mendapat gangguan napas karena asma.
Menurut Fatma, dirinya memang alergi terhadap makanan laut. Namun, dulu-dulu, reaksinya ‘hanya’ biduran. “Kulit gatal-gatal dikit masih bisa ditahan. Makanya dulu-dulu saya kadang suka nekat makan kalau lagi pengin,” tutur mahasiswi itu.
Ia heran mengapa sekarang dirinya mengidap asma. “Biduran-nya memang enggak muncul lagi, tapi kok jadi ada asma? Saya jadi takut makan seafood. Soalnya serangan asma lebih ngeri daripada biduran,” keluhnya.
Kejadian yang menimpa Fatma mungkin juga pernah dialami mereka yang mengidap alergi. Mereka mengalami perubahan bentuk reaksi. Dalam kasus Fatma, reaksi yang semula berupa biduran berubah menjadi asma.
Menurut dokter konsultan alergi imunologi anak, Budi Setiabudiawan, perubahan reaksi alergi tersebut memang kerap terjadi. “Itu merupakan bagian dari perjalanan penyakit alerginya. Jadi, waktu kecil alerginya berupa gatal-gatal. Setelah dewasa, (alergi) berubah jadi asma,” ujarnya di acara Nutritalk yang diadakan Sarihusada di Jakarta, Kamis (24/3).
Hal tersebut, lanjut Budi, menjadi salah satu alasan mengapa mencegah munculnya reaksi alergi sedari bayi dan kanak-kanak penting dilakukan. Agar kelak si anak terbebas dari kemungkinan mengalami reaksi alergi yang lebih parah. Lebih dari itu, pada dasarnya alergi juga mengganggu tumbuh kembang anak.
“Langkah pencegahan perlu dilakukan jika anak memiliki faktor risiko alergi yang besar,” kata dokter yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, itu.
Bagaimana memperkirakan besar kecilnya risiko itu? Caranya dengan melihat riwayat alergi dalam keluarga. Budi menjelaskan, “Anak-anak dengan kedua orangtua memiliki riwayat alergi memiliki risiko alergi sebesar 40%-60%. Risiko ini lebih besar lagi jika kedua orangtua memiliki alergi sama, misalnya sama-sama alergi udang, yaitu sebesar 60%-80%.”
Anak dengan salah satu orangtua memiliki riwayat alergi, lanjut Budi, berisiko alergi 20%-30%. Jika saudara kandung memiliki riwayat alergi, anak berisiko mengalami alergi sebesar 25%-30%. “Bahkan, anak dengan orangtua yang tidak memiliki riwayat alergi pun berisiko mengalami alergi sebesar 5%-15%.”
Setelah memahami besaran risiko alergi yang mungkin diturunkan pada anak, orangtua perlu melakukan langkah antisipasi. Langkah itu bahkan perlu dilakukan sejak masa kehamilan.
“Bakat alergi tidak bisa dihilangkan, tapi lingkungan sekitar bisa dimodifikasi agar bakat itu tak muncul.”
Budi menjelaskan modifikasi lingkungan yang perlu dilakukan semasa kehamilan antara lain menghindari paparan asap rokok. Penelitian membuktikan paparan asap rokok semasa kehamilan memperbesar risiko anak mengalami alergi kelak.
Kemudian, terang Budi, upayakan anak lahir secara normal, bukan melalui bedah caesar. Paparan mikroorganisme di sekitar jalan lahir menambah probiotik (bakteri baik) di usus bayi. Probiotik itu bermanfaat menekan potensi alergi.
Selanjutnya, berikan bayi air susu ibu (ASI) eksklusif minimal enam bulan. Langkah itu sudah terbukti menekan risiko alergi.
Jangan berpantang
Bagaimana jika karena suatu sebab ibu tidak bisa memberikan ASI? Budi menyarankan agar bayi yang memiliki risiko tinggi mengalami alergi diberi susu formula khusus. Pasalnya, susu sapi merupakan salah satu alergen utama bagi bayi alergi. “Data WHO menunjukkan prevalensi alergi susu sapi pada anak-anak di dunia mencapai 4,9%.”
Susu formula yang dianjurkan untuk mencegah reaksi alergi pada bayi berisiko tinggi, yakni susu yang terhidrolisis sebagian (partially hydrolyzed). “Susu sapi menjadi salah satu alergen karena rantai proteinnya panjang-panjang. Nah, susu yang partially hydrolyzed rantai proteinnya sudah dipotong-potong,” jelas Budi.
Lalu, langkah menekan potensi alergi dilanjutkan dengan memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) pada usia tepat, saat bayi berusia 4-6 bulan. “Pemberian MPASI yang terlalu awal maupun terlambat memperbesar risiko alergi.”
Ia menambahkan, semasa ibu hamil dan menyusui, ibu tidak perlu berpantang makanan, kecuali jenis makanan yang menjadi alergen bagi si ibu. Pun demikian saat pemberian MPASI, berikan bayi makanan bervariasi.
“Bayi juga tidak perlu berpantang, kecuali jika kemudian muncul reaksi alergi, makanan pemicunya harus dihindari,” tegasnya.
Namun, Budi mengingatkan, ketika mendapati anaknya menunjukkan reaksi alergi, orangtua jangan gegabah dalam memastikan alergen pemicu.
“Alergen itu beragam. Ada yang berupa makanan, tungau yang hidup di debu dalam rumah, juga obat-obatan. Jenis alergen yang menimbulkan reaksi pada anak harus dipastikan agar bisa dihindari di kemudian hari. Untuk memastikannya, lebih baik periksa ke dokter.”
Pada kesempatan sama, dokter pakar tumbuh kembang anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Rini Sekartini, mengingatkan alergi pada anak tak boleh dianggap enteng. Itu berpotensi mengganggu tumbuh kembang.
“Misalnya, gatal-gatal akibat alergi bikin bayi rewel dan sulit tidur, hidung tersumbat membuat bayi susah menyusu sehingga asupan nutrisinya kurang. Padahal, tidur dan nutrisi merupakan faktor penting untuk tumbuh kembang anak,” ujarnya. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved