Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
PEMERINTAH melalui Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM), setiap tiga tahun sekali mengadakan akreditasi ke sekolah/madrasah untuk melihat capaian dan mutu di setiap satuan pendidikan. Faktor integritas sekolah masih dianggap menyulitkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam melakukan penilaian yang objektif.
Demikian dikemukakan anggota BSNP Doni Koesuma pada webinar di Jakarta, kemarin. Untuk diketahui, tahun ini BAN-SM dalam menilai sekolah menggunakan sistem akreditasi baru atau Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP).
“Intinya, sikap sekolah harus punya integritas. Kalau pencarian data data dan dokumen dikondisikan, tidak akan terjadi perubahan sekolah yang diakreditasi, juga akreditasi perlu dipahami sebagai penilaian formatif, bukan sumatif, yang setelah dinilai selesai,” ujar Doni.
Lebih lanjut, dikatakan, ritual 3 tahunan akreditasi dengan formalitasnya tidak akan banyak gunanya bagi sekolah tanpa diiringi nilainilai integritas pimpinan di sekolah. Sayangnya, lanjut dia, dimensi manajemen sekolah dan pembiayaan pendidikan yang menjadi faktor penting kualitas pendidikan disamakan bobotnya dengan indikator lain.
Hal tersebut kurang tepat. Padahal, dari hasil riset biaya merupakan faktor penting sebagai pengungkit kualitas pendidikan.
Selain faktor sekolah, ujar Doni, kompetensi para asesor dari BAN-SM tidak kalah pentingnya. Kepala BAN-SM Toni Toharudin mengatakan sebagai institusi yang memiliki tugas menjaga mutu satuan pendidikan melalui penetapan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan, BAN-S/M berkomitmen untuk terus melakukan transformasi guna meningkatkan mutu pelayanan.
Wujud komitmen tersebut pada 2020 telah dilakukan melalui reformasi sistem akreditasi untuk memastikan penilaian satuan pendidikan sesuai dengan substansi mutu yang sesungguhnya. Agenda perubahan terhadap instrumen akreditasi ialah inti (core) dari prioritas kebijakan BAN-S/M sejak dua tahun terakhir.
“Perubahan ini dilakukan karena instrumen akreditasi yang lama dinilai terlalu administratif dan belum menyentuh akar masalah yang dihadapi sekolah/madrasah,” ujarnya.
Pakai AKSI
Di kesempatan sama, Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah, Kementerian Agama, Ahmad Umar,
mengatakan pihaknya melakukan modifikasi Asesmen Kompetisi Minimal (AKM) menjadi Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang akan digunakan khusus bagi madrasah.
“Kenapa tidak memakai AKM, kami menyadari di madrasah itu para warganya belum berpikir maksimal,” ungkap Umar. Menurutnya, AKM memiliki makna nilai batas minimal. Dengan begitu, AKM hanya akan mengejar nilai paling rendah.
“Jadi kalau AKM itu Asesmen Kompetensi Minimum, takutnya kalau menggunakan kalimat itu, kawan madrasah mengambilnya yang di bawah minimal, maka kita menggunakan AKSI,” sambung dia.
Dari AKSI, Umar mengaku dapat memetakan masalah, kekurangan, dan kelemahan madrasah. Termasuk dapat mengukur literasi membaca,
numerik, hingga sains. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved