Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
BUKU harian seseorang, siapa pun yang menulis, adalah sesuatu yang menarik untuk dibaca dan diulas. Buku harian adalah perjalanan hidup seseorang dalam mengarungi pasang surut kehidupan. Itulah yang tertertuang dalam buku Never Lost Hope karya Margaretha M Siahaan, 67.
Kisah di dalam buku yang ke-20 ini ialah cerita pengalaman pribadi hidupnya dalam berinteraksi dengan dunia terdekatnya. Penulis berinteraksi dengan orangtua, saudara, sahabat, dan dunia, selain mencoba berdialog dengan situasi terkini dunia yang adalah refleksi dirinya dalam memaknai kehidupan yang sangat dipercayainya sebagai karunia Tuhan terbesar.
Membaca Never Lost Hope tidak bisa dilepaskan dari buku pertamanya, The Mirror of Life (terbit 2018), dan buku Never Give Up (terbit 2019).
Di buku pertama, Margareta atau yang biasa disapa Butet ini mengisahkan perjalanan hidupnya bersama keluarga selama 27 tahun. Di diari pertama ia menumpahkan segala pembelajaran hidup, dan terasa ada kesedihan, kekecewaan di sana, terlebih hubungan personal nya dengan sang bunda.
Adapun dalam buku Never Give Up, ibu dari satu anak dengan dua cucu ini lebih menekankan pergumulan hidupnya selama 18 tahun yang menanti perdamaian dengan sang ibu. Dalam buku diari itu tampak bahwa perdamaian dengan ibunda yang diharapkan tak kunjung tiba. Buku itu lebih menggambarkan suasana batin, penantian, perdamaian yang dinanti-nanti belum terwujud sesuai dengan harapan.
Buku diari kedua merupakan kumpulan ungkapan perjalanan hidup penulis selama hampir 37 tahun. Narasi di buku tersebut ialah proses nostalgia yang terus menjadi kenyataan.
Di buku diari ketiga inilah memang seperti klimaks apa yang diharapkan di buku diari kedua. Penulis menyatakan di tengah pandemi covid 19 dari awal 2020, penulis malah merasakan keajaiban dari Tuhan. Sepertinya Tuhan menjawab doa-doanya selama puluhan tahun. Tanpa disadari kisah perjalanan gunung es yang sudah terjadi 18 tahun (2002-2020) akhirnya cair.
Di tengah pandemi justru terjadilah harapan yang dinanti-nanti oleh penulis, yakni ungkapan dari hati yang sabar, maaf dan pengampunan.
Inti dari buku diari ketiga Never Lost Hope ini ialah di Bab Tujuh, ‘Menanti Maaf 18 Tahun’ (hlm 26-29). Penulis dalam pergumulannya sadar bahwa orang dalam hidup memang harus bisa memaafkan sekalipun mereka tidak menyukaimu. ‘Kita harus berteman dengannya meski hanya dalam hati’ (hlm 27). Dengan sadar, penulis menyatakan dalam hidup selalu saja ada orang-orang yang berseberangan dengan hidup kita. Namun, di balik semua itu, kita selalu perlu mengampuni mereka berulang ulang, bahkan berkali kali dalam sehari. Tinggalkan masa lalu dan berjalanlah ke depan dan terus berpikir positif karena hidup memang tak pernah menunggu. ‘Walaupun hidup kita didera kepahitan, janganlah membalas sakit hati orang lain karena Tuhan ingin kita memaafkan dengan sikap tulus. Sekalipun maaf Anda ditolak mentah-mentah, kita harus tetap memaafkan karena jika menolak maka kita akan terperosok ke lubang yang dalam. Jika tak memaafkan maka kita sendiri tak memiliki rasa damai sepanjang hidup’ (hlm 27).
Pengalaman nyata dari penulis yang menarik ialah pernah juga melakukan isolasi mandiri di awal pandemi di bulan Maret 2020, tatkala dirinya mengalami gejala sakit seperti halnya terkena covid-19 (hlm 84-86). Ketika ciri–ciri sakit agak demam dan tidak enak badan, penulis langsung memeriksakan diri ke rumah sakit dan minta kepastian. Syukurlah ternyata setelah diberi obat untuk 3 hari, penulis ternyata sembuh. Meski setelah 3 hari sudah sembuh, tetap saja penulis melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. “Walau paru-paru bersih, tidak ada demam, tapi ada sedikit batuk, pilek, sepertinya Bunda mengalami flu biasa, tapi kalau tidak juga sembuh, segera datang ke rumah sakit yang dirujuk’ (hlm 86).
Meski masuk kategori pasien dalam pemantauan, penulis besyukur meski sudah masuk kategori usia yang rawan tertular, akhirnya bisa melalui waktu kritis itu dengan baik.
Never Lost Hope karya perempuan kelahiran Washington, AS, ini bukan sekadar catatan perjalanan kehidupan anak manusia biasa. Buku ini memberi harapan bagi orang yang mau membacanya dengan hati, dan layak dibaca untuk refleksi dari pengalaman hidup seseorang yang mengalami pasang surut kehidupan dan terus mau menjaga pengharapan yang positif di masa depan. Untaian kata-kata yang digunakannya juga sederhana dan indah. (Ros/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved