Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Kelompok yang Selalu Istimewa, bahkan Saat Depresi Ekonomi

MI
29/8/2020 01:45
Kelompok yang Selalu Istimewa, bahkan Saat Depresi Ekonomi
(MI)

MENARIK untuk menyimak geliat rupa kehidupan manusia. Saat makmur maupun kala kondisi ekonomi serbasulit, keduanya layak dibincangkan dalam kesetaraan. 

Bahkan pada saat pandemi covid-19 sekarang, masa lalu masih relevan, khususnya ketika dunia tengah dibayangi perlambatan perekonomian dan ancaman resesi global. Beberapa puluh tahun lalu Hindia Belanda pernah  mengalami depresi ekonomi. Segalanya lalu berubah, termasuk gaya hidup.

Itulah yang coba direkam buku Bergaya di Masa Sulit: Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Masa Depresi Ekonomi 1930-1939, karya Agung Wibowo. Buku ini menjadi menarik berkenaan dengan momentum pandemi covid-19. 

Belajar dari masa lalu, karena masa kini tak pernah lepas dari sejarah dan masa depan. Kejatuhan bursa saham di Wall Street, New York, pada 1929 menjadi awal dari depresi besar yang mengguncang dunia. 

Hindia Belanda tak luput dari krisis. Batavia menjadi saksi betapa krisis itu mengubah gaya hidup masyarakat sebagai respons dari situasi saat itu. Pada 1930, angka pengangguran meningkat sejalan dengan kemerosotan produksi perusahaan.

Masyarakat pun mengupayakan segala sesuatu untuk bertahan hidup. Kala itu, dampak depresi ekonomi digambarkan sangat menakutkan. ‘Mending jadi pengemis dibanding buruh bergaji. Karena gaji yang mereka terpotong separuh’ (hlm 34).

Lalu bagaimana dengan mereka yang mendapat hak istimewa seperti kalangan Eropa maupun kalangan kelas atas? Tentu saja mereka terdampak, tapi tidak signifi kan. Itulah yang digambarkan media pada saat itu. ‘Orang-orang Eropa yang terkesan agak istimewa adalah hal yang benar’ (hlm 70).

Dalam fesyen, misalnya, terjadi peralihan gaya mode dari yang formal menjadi lebih santai dan rileks. ‘Ibarat melepas kepenatan ketika depresi terjadi. Misalnya saja pakaian yang terlihat kasual dan santai lebih sering digunakan ketimbang pakaian kantor yang rumit dan lebih mengekang ekspresi tubuh, termasuk dalam hal pakaian’ (hlm 54).

Sayangnya, pakaian itu mereka peroleh dari Paris dan London. Bukan didapat dari produk Bumiputra di Hindia Belanda. Pada aktivitas hiburan dan bersolek, malah muncul berbagai kebiasaan baru. 

Penginapan, misalnya, terdapat berbagai macam tempat wisata di Batavia yang di ja dikan masukan ketika depresi ekonomi sebagai komoditas wisata. ‘Hotel adalah salah satu bangunan yang dijadikan komoditas wisata di Batavia ketika depresi’ (hlm 63).

Selain itu, akibat krisis ekonomi dunia, bermunculan berbagai macam sistem industri rumahan, manufaktur, serta industri pabrik di Batavia. Agung juga memotret kemunculan kelompok masyarakat pesolek yang doyan berpesta dan sedikit hura-hura.

‘Masa depresi juga cenderung memunculkan generasi baru yang disebut generasi pesolek’ (hlm 66). Hiburan pada saat itu telah membentuk dunia yang komersial dan menguntungkan. Di pasar juga mulai diperjualbelikan produk impor. Orang Eropa sangat jarang menggunakan produk lokal. Sama halnya dalam soal mode, kosmetik juga didapat dari Paris atau London.

Agung juga mencatat beberapa olahraga yang bangkit di masa depresi. Salah satu yang mencengangkan ialah dibangunnya sirkuit balap mobil (race terrain) di daerah Menteng.

“Pada akhirnya didapat kesimpulan bahwa masyarakat Eropa di Batavia dari sisi gaya hidup melalui visualisasi yang tergambar di surat kabar dan majalah sezaman tidak terpengaruh dampak depresi ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hak istimewa (privilese) yang mereka dapat dalam politik segregasi. Masyarakat golongan paling atas diupayakan mendapat pengaruh depresi ekonomi seminim mungkin,” simpul Agung. (Zuq/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik