Rini Sugianto Animator Tangguh si Penyuka Detail

Zubaedah Hanum
27/7/2020 03:45
Rini Sugianto Animator Tangguh si Penyuka Detail
Animator Rini Sugianto(Dok. Instagram)

“SEPULUH tahun lalu, saya menjual semua barang-barang, berkemas, dan pindah ke Selandia Baru untuk mengerjakan film pertama yang ternyata itu ialah The Adventure of Tintin. Itu mungkin satu keputusan terbaik yang pernah dibuat untuk karier saya.”

Tulisan itu diunggah Rini Sugianto, 39, dalam akun Instagram @rinisugiantoart pada 3 Januari 2020, sebagai penanda 10 tahun bersejarah dalam hidupnya. Rini Sugianto telah lama dikenal sebagai pekerja animasi film-film berkelas Hollywood.

Dimulai dari The Adventure of Tintin: The Secret of  Unicorn (2011) berlanjut ke Iron Man 3 (2013), Avengers: Age of Ultron (2015), hingga Ready Player One (2019) yang masuk nominasi piala Oscar 2019.

Dalam webinar virtual yang digelar Komunitas Tintin Indonesia, Sabtu (25/7), animator asal Lampung itu mengisahkan The Adventure of Tintin: The Secret of Unicorn (2011), yang disutradarai Steven Spielberg dan diproduseri Peter Jackson, bagaimana Tintin mengubah
hidupnya.

“Tintin membawa pengaruh besar bagi saya dan karier saya,” ucap alumnus SMA Regina Pacis, Bogor, yang melanjutkan ke jenjang Sarjana Arsitektur, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, itu.

Demi proyek ini, Rini pun meninggalkan Amerika Serikat dan pindah ke Selandia Baru, bergabung di studio animasi Weta Studio yang dimiliki Jackson. Rini dan teman-teman animator lainnya harus dapat menggerakkan Tintin serealistis mungkin, tanpa mengurangi pesonanya yang akrab di komik maupun serial animasi 2D-nya.

Menurut perempuan asal Lampung ini, detail merupakan hal yang paling penting saat menganimasikan objek agar terlihat nyata. “Kita pelajari bagaimana cara orang berkedip, kalau kita kan mikir mata menutup saja, padahal enggak sesimpel itu,” ucap istri dari Brandon Riza, fotografer yang juga FX artist itu.


Berbagi pengalaman

Berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat, ia menilai studio maupun pencari animator di negara tersebut tak mempermasalahkan dari mana animator tersebut menempuh pendidikan asalkan memiliki portofolio yang baik.

“Di US, kita tidak lihat animator itu lulusan mana, yang dilihat semua hasil kerjaan atau portofolio. Mau lulusan SMA, kalau portofolionya bagus, ya dia yang di-hire,” kata Rini.

Menurutnya, bekerja dengan waktu yang lama (long hours) selama 12-14 jam per hari selama beberapa bulan ialah rutinitas yang harus dijalani animator. Tidak sedikit yang tumbang karena ini.

“Banyak yang enggak survive juga. Susah untuk balance dengan life and family. Fokus harus banget, kerjaannya enggak nyantai, dan sangat kompetitif,” kata Rini.

Di masa pandemi ini, pekerjaan animator ikut terdampak, menyusul tertundanya sejumlah proyek film. Namun, kata Rini, hal itu masih dapat diatasi lantaran para animator bisa bekerja seperti biasa dengan adanya komputer. “Saat ini bekerja secara remote karena kita kerja pakai komputer semua,” pungkasnya. (Ant/H-2)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya