Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
AWAK kabin lazim menyerukan kencangkansabuk pengaman saat pesawat bergegas lepas landas.
Begitu pun dengan sebelum membaca buku Ragam Akalbudi; Memahami Kesadaran. Lebih baik bersiap dengan kejutan-kejutan yang akan bertahan dalam waktu yang cukup panjang.
Bagaimanapun buku ini adalah karya seorang tokoh filsafat, Daniel C Dennett. Sosok itu juga dikenal sebagai fi lsuf yang menjadi pengkaji kelas berat pada tema biologi evolusioner dan sains kognisi. Buku ini merupakan terjemahan dari judul asli Kinds of Minds (1996). Lewat buku ini, Dannett memadukan filsafat, ilmu biologi saraf, evolusi, dan gagasan kecerdasan buatan.
Sebelum berbincang lebih lanjut, menarik untuk memperhatikan pernyataan Dennett dalam bagian Sekapur Sirih, ‘Saya seorang filsuf, bukan saintis, dan kami para filsuf lebih pandai mengajukan pertanyaan ketimbang menyediakan jawaban’ ( hlm vii).
Dennett mengawali telaah akal budi dengan sejumlah pertanyaan, misalnya bisakah mengetahui apa yang sedang terjadi dalam akal budi orang lain? Bagaimana dengan akal budi nonmanusia? Apa yang dipikirkan kuda? Bisakah laba-laba berpikir? Jika kemampuan kognisi didasarkan pada volume otak, bagaimana dengan hewan berotak lebih besar?
Kemudian yang paling berkesan dari Dennett ialah pertanyaan apakah robot yang berkesadaran itu mungkin. Dennett menarasikan sebuah robot bernama Cog di Artificial Intelligence Lab MIT yang terbuat dari logam, silikon, dan kaca. Robot itu punya rancangan mirip manusia sehingga suatu hari Cog bisa menjadi robot berkesadaran pertama di dunia.
‘Saya telah mengusung suatu teori kesadaran Multiple Drafts Model (1991) yang menyiratkan robot berkesadaran pada prinsipnya mungkin ada’ (hlm 20). Argumen itu didasarkannya pada biologi molekuler. Disiplin itu mengkaji makhluk hidup hingga pada satuan terkecil yakni
molekuler kecil yang tidak berakal budi. Menurutnya, di antara leluhur manusia ialah makromolekul.
Dennet lebih suka menyebutnya sebagai robot. Premis itu ia kembangkan hingga sampai pada sebuah pernyataan, ‘Tak lagi ada keraguan yang berbobot dan serius tentangnya: kita adalah keturunan langsung robot-robot yang mereplikasi diri’ (hlm 29).
Meski judulnya Ragam Akalbudi, tampaknya Dennet tidak hendak menjabarkan ragam akal budi sebagaimana yang tertera di judul; misalnya pseudo-akal budi, protoakal budi, semi-akal budi, ataupun hemi-semi-demi-akal budi. Ia justru menyajikan alat penyelidikan untuk menelusuri rimba akal budi.
Salah satunya ia berkeras memasukkan agensi dan kedudukan intensionalitas. Agensi ditujukan sebagai pelaku tindakan, sedangkan kedudukan intensionalitas adalah strategi menafsirkan perilaku suatu entitas dengan memperlakukannya seolah-olah agen rasional yang mengatur tindakan lewat pertimbangan kepercayaan dan hasrat.
Memahami kedudukan intensionalitas begitu penting. Dannet menggarisbawahi konsep itu sebagai kunci memahami misteri akal budi. ‘Saya akan berusaha memperlihatkan bahwa jika digunakan dengan cermat, kedudukan intensionalitas bukan hanya gagasan bagus untuk menyibak misteri akal budi-segala jenis akalbudi’ (hlm 35).
Istilah intensionalitas
Sebelum melangkah jauh, alangkah baiknya memperhatikan istilah intensionalitas yang kerap disebutkan Dennet. Khawatirnya, ada perbedaan dengan rujukan yang selama ini dipahami.
‘Intensionalitas dalam arti filosofis hanyalah ketentangan (aboutness). Sesuatu menunjukkan intensionalitas jika kompetensinya dalam suatu hal adalah tentang sesuatu yang lain’, (hlm 45).
Dari situ Dennett lalu menuju variasi intensionalitas yang terbagi menjadi dua; intrinsik (orisinal) dan turunan. Intensionalitas intrinsik adalah pemikiran, kepercayaan, dan hasrat, sedangkan intensionalitas turunan seperti kata-kata, buku, peta, ataupun gambar.
Akal budi bertugas untuk menghasilkan masa depan. Ia berperan sebagai pemroses informasi sehingga unsur terkait menjadi penting seperti sensitivitas dan kesadaran. Dennet juga mengajukan rancangan otak untuk melihat asal kekuatannya.
Ia berani menyederhanakan struktur yang sangat rumit. Lalu menerjemahkannya dalam bentuk simpel; Menara Bangkitkan dan Uji (Tower of Generate-and-Test). Tiap bagian dalam menara tersebut dihuni oleh makhluk yang ia namai dengan tokoh pencetus teori.
Harus diakui, menara ala Dennet adalah sebuah pemikiran yang brilian. Ia menandai kemajuan penting dalam kekuatan kognitif dalam tiap bagian. Pertama, Dennett menempatkan makhluk Darwinan yang didasarkan pada konsep evolusi. Organisme diuji di lapangan, hanya rancangan terbaik yang mampu bertahan. Ia menggambarkannya via ilustrasi ketika makhluk Darwinan berhadapan dengan lingkungan.
Berikutnya, ia menyematkan sebutan makhluk Skinneran pada subset makhluk Darwinan. Nama itu diambil dari nama ahli psikologi perilaku BF Skinner. Tokoh itu terkenal dengan pengondisian operan (operant conditioning). Dalam bahasa yang lebih sederhana, manusia mampu berkembang dan bertahan lewat beragam pelatihan dan pengondisian. Menurut Dennet, konsep itu adalah perpanjangan dari seleksi alam ala Darwin.
Bagian selanjutnya ialah makhluk Popperan yang didasarkan pada nama Sir Karl Popper. Otak makhluk Popperan berpotensi memiliki kemampuan praseleksi terhadap lingkungan. Dennett menyatakan ‘tidak seperti mahkluk Skinneran yang bertahan hidup hanya karena beruntung di langkah pertama, makhluk Popperan bertahan hidup karena cukup cerdas untuk menjalankan langkah pertama yang lebih baik ketimbang coba-coba’ (hlm 110).
Pada sub-sub-subset makhluk Darwinian, tersebutlah makhluk Gregorian yang didasarkan pada pencetus teori kecerdasan potensial Richard Gregory. Tokoh itu terkenal dengan konsep informasi sebagai pemegang peranan penting dalam penciptaan kecerdasan kinetik.
Makhluk Gregorian, menurut Dennett, menandai langkah besar menuju ketangkasan mental tingkat manusia. Makhluk Gregorian memiliki bahasa di antara alat-alat akal budinya. Namun, untuk mengunakannya, manusia harus terlebih dahulu dilengkapi bakat khusus yang memungkinkan mereka mengekstraksi alat akal budi dari lingkungan atau sosial.
‘Kita manusia, berkat sudut pandang yang kita peroleh dari kemampuan kita merenung dengan cara-cara khas kita, dapat membaca kegagalan pelacakan yang kiranya di luar kemampuan makhluk lain’ (hlm 144).
Membaca buku ini, pembaca akan mendapati istilah baru dengan pemahaman yang lain, semisal kelaparan epistemik. Pembaca juga dipaksa berjuang lebih keras untuk mengikuti alur pemikiran Dennett. Meski begitu, secara garis besar ia hendak menyajikan pembedaan antara akal budi manusia dan akal budi nonmanusia.
Pembedaan itu bukan berupa narasi, melainkan hanya sebentuk pertanyaan dan berbagai pegangan analitis saat berkelana di rimba akal budi. Lalu berada di mana manusia?
Kesimpulan tertahan dalam kepala masing-masing. Begitu pula Dannett mengakhiri bukunya. ‘Buku ini bermula dengan sehimpunan pertanyaan dan-karena ini buku karya seorang filsuf berakhir tidak dengan jawaban’ (hlm 208). (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved