Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Investasi PLTN Lebih Kompetitif

MI/PUPUT MUTIARA
24/4/2015 00:00
Investasi PLTN Lebih Kompetitif
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl, Ukraina(AFP)
BIAYA investasi awal untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) diakui mahal ketimbang pembangkit listrik tenaga konvensional seperti batu bara dan gas.

Kendati begitu, PLTN lebih kompetitif jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga konvensional lainnya, terutama dalam menjaga keberlanjutan lingkungan di sekitarnya.

"Memang harus diakui, investasi awal PLTN bisa 2-3 kali lipat daripada batu bara. Namun, saat beroperasi, justru lebih kompetitif karena bersih dan tidak mengeluarkan emisi gas. Itu yang jadi pertimbangan, termasuk kalau nanti PLTN-nya ditutup," ujar Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto saat dihubungi Media Indonesia menyikapi anggapan sedikit kalangan yang menilai biaya pembangunan PLTN mahal, di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan kajian World Nuclear Association yang ada di situs http://world-nuclear.org/info/Economic-Aspects/Economics-of-Nuclear-Power/, biaya investasi PLTN berkisar US$3.500-US$6.000 per kilowatt-hour (kwh). PLTU batu bara US$1.000-US$1.500/kwh.

Namun, karena komponen bahan bakar dan operasional PLTN amat kecil, sekitar 10%, serta umur PLTN dapat mencapai 40-60 tahun, biaya pembangunan PLTN dapat bersaing dengan pembangkit listrik tenaga konvensional, berkisar US$0,05-US$0,08/kwh, bahkan di Tiongkok bisa mencapai US$0,044-US$0,055/kwh.

Karena itu, kata Djarot, meski di awal-awal pembangunan membutuhkan investasi mahal, tetap saja banyak negara berminat membangun PLTN di wilayah mereka.

Saat ini berdasarkan data Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang diunduh melalui http://www.iaea.org/pris/, ada 66 PLTN yang sedang dikonstruksi. Di antaranya Tiongkok (28 unit), Rusia (11), India (7), Korea Selatan (4), Pakistan (2), Taiwan (2), dan Uni Emirat Arab (4).

Bahkan, jelas Djarot, beberapa negara seperti Filipina dan Vietnam kini masih negosiasi finansial terkait dengan pembangunan PLTN. "Negara-negara baru seperti Yordania, Bangladesh, dan Arab Saudi tidak masalah serta sangat berminat untuk segera membangun PLTN," imbuhnya.

Skema BOO dan BOT
Djarot menambahkan, seandainya pemerintah tidak ingin membiayai investasi pembangunan PLTN, ada solusi dengan menggunakan satu di antara skema yang ada, build-own-operate (BOO) dan build-operate-transfer (BOT).

Ia menjelaskan skema BOO artinya mulai membangun, membiayai, hingga mengoperasikan, semua dilakukan vendor. Pemerintah hanya menangani urusan listrik. Dengan BOT, dari membangun hingga mengoperasikan dilakukan vendor. Hanya, setelah sekian tahun sesuai dengan perjanjian, kepemilikan bisa dialihkan.

Kedua hal itu, ujarnya, sudah terbukti menjadi solusi di Turki. Ketika itu, Turki tidak memiliki uang sehingga Rusia menawarkan diri sebagai vendor. Itu pun bisa menjadi solusi alternatif bagi negara berkembang seperti Indonesia.

"Tinggal pilih saja nanti. Yang pasti, jika keputusan membangun PLTN ditunda lagi, ketahanan energi yang kita cita-citakan semakin sulit diwujudkan. Energi baru dan terbarukan selain nuklir saat ini sangat sulit untuk dikembangkan dengan kapasitas besar dan dengan harga listrik yang terjangkau bagi rakyat," tutup Djarot. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya