Alih-alih sekadar panggung orasi, mantan aktivis ini mendirikan pesantren untuk membuktikan keyakinan dan kecintaannya soal pertanian berkelanjutan.
SYAHDAN, berangkat dari kegelisahan atas alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian monokultur di daerah Pasundan, Jawa Barat, Nisya Saadah Wargadipura mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP) pada 1995.
Melalui serikat tersebut, Nisya menyerukan agar pemerintah bersedia mengembalikan lahan pertanian dengan konsep tanaman tunggal pada satu areal tersebut menjadi hutan dengan keragaman hayati (biodiversitas). Sekitar 1997-1998, pemerintah merespons niat tersebut dan mengklaim akan mengembalikan fungsi hutan sebagaimana yang dikehendaki masyarakat. Sayangnya, masyarakat, kata Nisya, kembali termakan rayuan dengan kebijakan yang disebut Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau, menurutnya, tak jauh berbeda dengan alih fungsi hutan sebelumnya. Sebab, dari program itu, masyarakat kembali dibujuk untuk merawat tanaman tunggal, seperti jagung, pisang, dan cokelat.
Lebih parahnya, setelah beberapa tahun, konsep menanam monokultur itu kembali membuktikan bahwa kegagalannya dalam menyejahterakan masyarakat. Salah satu contoh kasus, ungkap Nisya, pisang yang berada di daerah Sagara kebanyakan rusak atau akrab disebut 'ngacay': teksturnya lembek dan jika dibuka isinya penuh lendir.
"Karena apa? Virus tidak bisa dikendalikan. Salah satu yang mengerikan dari tanaman monokultur itu seperti itu. Ketika satu rebah, semua lemah. Menjangkitnya sangat cepat, mungkin seperti virus korona," paparnya saat ditemui Media Indonesia, di daerah Pasar Minggu, Jakarta, Minggu (9/2).
Nisya tak pernah patah arang dalam menegakkan komitmennya terhadap tanah Pasundan. Pada 2008, ia bersama sang suami, Ibang Lukman Nurdin, mendirikan Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di pesantren itu, para santri tak sekadar belajar ilmu agama.
Melalui pesantren yang memperkenankan 30 santrinya 'mondok' secara cuma-cuma tersebut, Nisya mengajarkan bahwa biodiversitas dalam konsep agroekologi dapat menjadi solusi masalah pertanian, terlebih untuk mencukupi kebutuhan pangan.
Antitesis
Satu dari Tujuh Tokoh Paling Berpengaruh di Kabupaten Garut 2019 versi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) itu menjelaskan bahwa Pesantren Ekologi Ath Thaariq merupakan antitesis dari Revolusi Hijau. Kalau dirunut dari penjelasan Sajogyo Institute yang mengatakan bahwa Pulau Jawa membutuhkan kurang lebih 5 hektare lahan untuk menghidupi satu keluarga, Ath Thaariq, tuturnya, dapat menghidupi 30 orang dari dua hektare lahan yang dikelolanya.
"Tapi, dari dua hektare itu per zonasi. Ada zona akuakultur, zona tanaman jangka menengah (3-4 bulan), ada zona seed saving area, dan ada juga zona untuk makanan sehari-hari. Contohnya apa? Buah-buahan, seperti jambu atau sayur-sayuran yang jumlahnya lebih dari satu," jelasnya.
Menurut Nisya, semua itu sangat mungkin terjadi karena kondisi tanah yang selama ini dikelola para santri sudah benar-benar pulih. Ia tidak lagi memerlukan pupuk karena nutrisinya sudah dicukupi dirinya sendiri. Sebagai contoh, ketika menanam padi, para santri tidak akan membuang jerami. Sebaliknya, jerami itu ditumpuk saja agar mengompos dengan dirinya sendiri.
Cara-cara seperti itu, menurut Nisya, mafhum dalam paradigma argoekologi. Sebab, argo sendiri, menurutnya, berarti pertanian, sementara ekologi ialah kembali ke alam. Cara bertani yang diadposi pesantren itu pun sangat demokratis karena ia menjunjung tinggi semua mahluk hidup, tak terkecuali benih.
Saking demokratisnya, para santri bahkan juga memberikan kesempatan hidup untuk tikus, ular, dan burung hantu. Menurut Nisya, baik dalam pertanian maupun alam, hewan-hewan itu ialah penyeimbang yang termasuk ke dalam ekosistem.
"Ketika Revolusi Hijau, tikus disebut dengan hama, maka dari itu petani lantas menyisihkan Rp1.500 untuk tiap ekor tikus yang ditangkap. Bagi saya, itu tidak masuk akal. Ongkos produksi jadi mahal, belum lagi untuk pupuk, benih, tenaga kerja, maupun obat-obatan atau pestisida. Maka dari itu, serahkan saja mereka kepada ular atau burung hantu karena memang merekalah ahlinya," tutur Nisya.
Budaya
Selain menjadi antitesis, menurut Nisya, Pesantren Ekologi Ath Thaariq juga menjadi pelestari cara bertahan hidup masyarakat Sunda yang pada dasarnya mengenal istilah Kebun Talun dan Buruan Bumi. Kebun Talun secara sederhana dapat dimemgerti sebagai lahan sosial-ekologi, sementara Buruan Bumi ialah pekarangan rumah.
Dua konsep itu, lanjut Nisya, selalu dikedepankan masyarakat Sunda dalam memandang hutan. Ia memberikan kesejahteraan tanpa campur tangan atau menjunjung tinggi tatanan alam dan kelestarian.
"Contohnya seperti ini, dulu, kalau para petani bilang akan pergi ke gunung, berarti di gunung itu ada jamur, cabe rawit lokal, ada lalap-lalapan, ada bambu, ada rebung, ada pakis, yang tak jauh dari hidangan orang-orang Sunda selama ini. Dan mereka selama ini tidak melakukan perubahan di gunung itu sendiri karena memang sudah menyejahterakan, di samping memegang tatanan-tatanan yang sangat biodiversity," papar Nisya.
Selagi konsep agroekologi, kebun talun dan buruan bumi menjadi acuan praktis para santri, untuk kajian teoritis, mereka kembali pulang kepada Alquran, hadis, dan buku Green Deen: What Islam Teaches about Protecting the Planet (2010) dari Ibrahim Abdul-Matin yang menunjukkan keselarasan ajaran Islam dengan pengelolaan alam lingkungan.
Bagi Nisya, Islam ialah rahmatan lil alamin (baca: rahmat bagi semesta) dan berlaku baik secara vertikal maupun horizontal. Vertikal maksudnya berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sementara horizontal ini tidak hanya berlaku antar sesama manusia, tetapi juga seluruh mahluk yang bernyawa.
"Dalam pesantren, pemahaman tentang horizontal ini tidak berbicara tentang aku dan kamu, aku dan dia, atau aku dan manusia. Kalau diibaratkan piramid, manusia biasanya selalu menganggap dirinya yang berada di paling atas, memutuskan segala sesuatu di bumi ini. Padahal, sebenarnya dia melingkar atau menjadi bagian dari ekosistem ini," urainya.
Sementara itu, menurut Nisya, Green Deen menunjukkan bagaimana nilai-nilai autentik dan praktik Islam mengarah pada gaya hidup yang sehat. Tak hanya itu, ia juga penuh kasih dan menguntungkan semua makhluk hidup. Green deen juga membahas bagaimana sebaiknya mengelola limbah, air, dan makanan. Seluruhnya diupayakn untuk memperkuat fondasi moral masyarakat, sekaligus memastikan keadilan sosial-ekonomi yang tak berbasis polusi, tetapi berkelanjutan (sustainable).
Hal serupa juga tampak dari kebiasaan para santri Ath Thaariq. Kata Nisya, sedari awal santrinya bahkan tidak memerlukan bekal untuk tinggal di dalam pesantren. Mereka justru diharuskan membawa bekal apabila nanti tiba saatnya keluar dari pesantren, baik dalam bentuk hasil panen maupun pengetahuan.
Begitu juga dengan masyarakat sekitar, mereka semua dibebaskan untuk menikmati hasil panen Ath Thaariq. Sebab, tanah di pesantren sudah benar-benar pulih 100% dan memiliki kedaulatan, yang dalam arti mampu menghadirkan biodiversitas atau keanekaragaman hayati.
"Kalau padinya mati, masih ada sukun. Kalau sukunnya tidak ada, masih ada jagung. Jadi, dari sumber karbohidrat saja tidak hanya satu selain mereka juga bernutrisi tinggi," tutur Nisya. (M-2)
BIODATA
NISYA SAADAH WARGADIPURA
Garut, 23 Februari 1972
. Pendiri dan Pengelola Sekolah Ekologi Leuser-Provinsi Aceh (2018-saat ini)
. Pendiri dan Pemimpin Pesantren Ekologi Ath Thaariq Garut (2008-saat ini)
. Pendiri dan Pemimpin Serikat Petani Pasundan-SPP (1995-2008)
Pendidikan
SMAN I Cibatu Garut (1991)
Alumnus Angkatan I Pendidikan Konsorsium Pembaruan Agraria-KPA (1997)
Penerima Beasiswa Course on A-Z of Agroecology and Organic Systems, Vandana Shiva, at The Navdanya Biodiversity Conservation Farm, Earth University (2015)
Prestasi
Tujuh tokoh paling berpengaruh dan perempuan inspiratif Kabupaten Garut (2019)
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kordinator Daerah (Korda) Garut (2019)
Inspirator Indonesia Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan Gugus Tugas Nasional Gerakan Nasional Revolusi Mental (2018)
72 ikon berprestasi, untuk pasangan suami istri Nissa Wargadipura dan Kyai Ibang Lukman Nurdin, dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, mengharumkan nama bangsa dan negara, serta menjadi inspirator bagi masyarakat Indonesia (2017)