Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PERSOALAN pendidikan Indonesia sebenarnya bukan terletak pada kemampuan guru atau siswa, melainkan cara berpikir dan bekerja birokrasi. Hal itu disampaikan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, pada Kamis (19/12).
Muhammad Nur Rizal menyampaikan hal itu untuk menanggapi keberanian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menghapus Ujian Nasional (UN) pada 2021. Oleh karena itu, ia sangat berharap keberanian Nadiem tidak dibajak oleh jajaran birokrasi.
"Bukan berarti keputusan berani itu tidak berisiko dibajak oleh jajaran birokrasinya. Seperti kebijakan sistem zonasi yang baru dengan memberikan porsi hingga 30% untuk syarat prestasi berpotensi mengembalikan kultur ranking sekolah yang sebenarnya ingin dikuburnya," ujar Rizal yang juga pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM).
Baca juga:Asesmen Kompetensi Minimum Juga bakal Tingkatkan Kompetensi Guru
Tidak menutup kemungkinan, sambung Rizal, asesmen kompetisi minimum pengganti UN akan mengalami hal yang sama. Asesmen tersebut dikhawatirkan dapat beralih fungsi menjadi alat penekan standarisasi baru atas nama mutu sekolah.
Terutama ketika mindset jajaran birokrasi enggan bertransformasi dan memilih bergerilya hingga 2021. "Lagi-lagi guru dan siswa yang jadi tumbalnya," tegas dia.
Ia mencontohkan aspek literasi yang menjadi unsur dalam asesmen kompetisi minimum. Literasi sejatinya adalah melengkapi siswa dengan kecakapan dasar berpikir kritis yakni menanyakan ulang, mendiskusikan persoalan, mencari alternatif jawaban, merefleksikan serta merevisi atas apa yang sudah diyakininya jika perlu.
"Di Finlandia, Jepang, atau Australia, siswa bebas membaca buku fiksi nonkurikulum, berkarya mengasah minat bakat, menyelesaikan persoalan nyata melalui olah pikir, olah rasa, olah laku dan olah raga tanpa ancaman nilai atau puja-puji semu, menjadi satu kesatuan ekosistem fundamental yang berhasil merevisi ideologi akan UN," ujarnya.
Namun, aspek literasi itu bisa berubah manakalah masyarakat malah didorong sebatas pada kemampuan membaca tulis, banyaknya jumlah bacaan buku atau kemampuan menjawab soal populer.
"Jadi, siapa sebenarnya yang perlu dimerdekakan terlebih dulu, gurunya, siswanya, atau justru birokrasinya sendiri? Semoga program "Merdeka Belajar" bukanlah sekadar slogan, melainkan upaya sungguh-sungguh untuk memerdekakan masyarakat dari belenggu sistem yang akut," pungkasnya. (*/A-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved