Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Adi Panuntun Satukan Sejarah dan Art-Tech Kekinian

Rizky Noor Alam
19/9/2019 03:20
Adi Panuntun Satukan Sejarah dan Art-Tech Kekinian
Adi Panuntun Satukan Sejarah dan Art-Tech Kekinian( MI/BARY FATHAHILAH)

MELALUI teknologi dan seni ia kembali mengingatkan akan sejarah Indonesia dengan cara yang menarik.

Saat ini kita sudah familiar dengan video mapping yang kerap dipertontonkan di khalayak umum pada acara-acara tertentu. Di balik penayangan itu tidak lepas dari sosok Adi Panuntun yang memperkenalkannya pada 2010.

Ia mempertunjukan video mapping kali pertama di Museum Fatahillah, Jakarta. Pertunjukan itu sebagai proyek tesisnya yang mengangkat desain dan eksplorasi audio visual.

"Video mapping di Museum Fatahillah sebenarnya merupakan suatu proyek prototipe dalam kajian tesis saya melalui beasiswa ke Inggris. Jadi bagaimana design thinking memengaruhi eksplorasi kita dalam membuat karya audio visual. Pada saat itu sebenarnya upaya kita untuk mengampanyekan revitalisasi kawasan Kota Tua dengan cara yang kreatif dan inovatif, kalau tidak dengan sendirinya akan hancur. Harus ada intervensi di ruang publik Kota Tua yang membuat orang melihat," ungkap Adi saat diwawancarai Media Indonesia di Jakarta pertengahan Agustus lalu.

Sejak itu, kata Adi, fenomena video mapping yang ditembakkan ke gedung-gedung bersejarah menjadi tren yang terus berkembang. Tidak hanya mengampanyekan isu atau kepedulian tertentu, tetapi mulai dilirik pemerintah sebagai proyek-proyek dalam mengampanyekan program atau nilai-nilai.

"Kemudian dimanfaatkan entitas bisnis karena dilihat sebagai cara baru dalam beriklan, branding, dan membuka peluang perusahaan kami, Sembilan Matahari, untuk memiliki potensi pasar yang lebih luas lagi," ujar Adi.

Tidak semata video mapping, Adi juga memproduksi film dan audio visual bisa diproyeksikan di gedung-gedung atau layar-layar yang tidak biasa. "Ini dilirik kalangan event organizer yang melihatnya sebagai potensi atraksi dalam menyelenggarakan event, bisnis kami pun berkembang lagi untuk aktivasi pameran, aktivasi launching produk, dan sebagainya," imbuh Adi.

Melihat respons itu, Adi merasa butuh banyak tenaga dan tidak bisa dikerjakan sendiri. Pihaknya mulai menggandeng anak-anak muda di Bandung, bekerja sama dengan perguruan tinggi maupun SMK-SMK yang fokus pada bidang multimedia penyiaran. Mereka diberdayakan sebagai tenaga-tenaga magang yang diberi pelatihan dahulu di Sembilan Matahari University.

"Jadi ada sharing knowledge, knowledge development, skill training yang kita berikan ke anak-anak ini, jadi lebih berkembang lagi. Kita juga banyak melakukan workshop dengan kampus-kampus atau lembaga pemerintahan baik yang berbayar atau sekadar sharing. Sembilan Matahari University itu sejak kami lahir sudah ada, dulu sifatnya lebih internal, setelah melihat pangsa pasar yang lebih luas kita seriuskan untuk bisa membagikan ilmu yang kami punya supaya bisa mendukung industri," paparnya.

Modal

Di awal proyek video mapping, pria kelahiran Bandung 23 Desember 1978 itu bercerita persediaan alat di pasaran masih terbatas. Sehingga ia ketat memilih untuk mencari proyektor yang sesuai spesifikasi untuk memproyeksikan gambar dengan kekuatan di atas 15 ribu lumens.

Satu dekade sudah sejak proyek pertama, sudah banyak perubahan. Peralatan tumbuh signifikan dan banyak pabrikan mengembangkan produk berteknologi tersebut dan banyak menelurkan produk-produk yang mendukung format digital maupun laser.

Dengan kebutuhan teknologi yang tinggi, tak heran kalau bisnis ini butuh modal yang besar. Di awal perintisan pun Adi mengakui banyak mengakali dan bekerja sama agar proyek-proyeknya tersebut dapat berjalan. Misalnya, dengan subsidi sebagian ataupun memanfaatkan dana CSR perusahaan.

"Budget kalau revitalisasi museum (membuat diorama pada museum dalam bentuk hologram atau perpaduan dengan teknologi augmented reality dan lainnya) itu bisa mulai dari angka Rp1 miliar, tergantung dari skala besar museumnya dan materi yang ingin dipertunjukkan. Bisa saja kita membuat satu diorama saja dengan angka Rp500 juta. Kalau untuk video mapping show itu bisa mulai dari angka Rp200 juta atau tergantung dari spesifikasi yang diinginkan serta berapa besar audiens yang mau dijangkau," jelas pria alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut.

Adapun jangka waktu ideal menggarap sebuah proyek baginya adalah tiga bulan. Terkadang klien ada yang meminta dalam waktu dua bulan, satu bulan, bahkan dua minggu. Sementara untuk merevitalisasi museum waktu yang dibutuhkan lebih lama bisa mencapai lima sampai enam bulan, karena banyak yang harus diperhitungkan, termasuk mengenai instalasi permanen yang akan dilakukan.

"Syarat gedungnya untuk video mapping yaitu tidak terlalu banyak lekukan, warnanya harus terang seperti putih, atau abu-abu muda, intinya jangan berwarna tua atau gelap dan gedung tersebut jangan didominasi kaca karena akan memantulkan proyeksinya. Besar gedung juga dipertimbangkan karena ada kaitannya dengan besaran bidang proyeksi, kalau terlalu berlekuk, berpotensi audiens kurang bisa melihat ilusi yang hadir, lekukan boleh tapi bagaimana lekukan itu bisa banyak mencitrakan apa yang kita mau proyeksikan," tuturnya.

Masa depan

Adi mengaku senang mengangkat tema sejarah ke ruang publik melalui teknologi kesenian yang dibuatnya. Baginya sejarah itu amat penting dan selama ini terkendala bagaimana mentransfer pengetahuan dan ilmu dengan cara yang efektif.

"Ingin mengingatkan masyarakat jika melupakan sejarah, berarti melupakan identitas. Dalami dulu identitas kita melalui sejarah, baru kita berbicara soal teknologi. Hal ini yang semakin membuat saya tertarik menggunakan sejarah menjadi suatu semangat," imbuhnya.

Proyek ini, dinilai sangat menjanjikan. Apalagi Indonesia memiliki kota dengan ruang publik begitu banyak. Sayangnya video mapping baru ramai di Pulau Jawa. "Beberapa kali menyentuh Sumatra, Bali, sudah lumayan sering, jadi masih banyak pulau yang belum banyak kita eksplor," ujarnya.

Baginya, masa depan pasar industri art-tech yang semakin berkembang ini amat cerah. Banyak hal yang bisa digarap seperti menggandeng pemerintah-pemerintah daerah untuk merevitalisasi ruang publik sejarah mereka yang dapat pula dimanfaatkan untuk mengangkat nilai promosi wisata setempat.

"Kalau tantangannya, bagaimana kami sekarang harus bisa scalling up terhadap perusahaan. Mendiversifikasi perusahaan kami tidak hanya B to G dan B to B, tapi juga B to C (consumer) dan sekarang kami sedang membuat inovasi yang insya Allah pada 2020 besok, kita akan rilis inovasi terbaru dari Sembilan Matahari yang akan menghadirkan experience baru bagi masyarakat, bisa dinikmati secara permanen, seluruh lapisan bisa mengakses tidak kalah dengan buatan desainer luar negeri dan apa yang sudah kita buat selama ini. Kita akan bangun di Bandung dan Jakarta dan akan menjadi poros baru dari kreativitas penikmati dan penggiat art-tech di Asia," pungkasnya. (M-3)

BIODATA

Nama: Adi Panuntun

Tempat, tanggal lahir: Bandung, 23 Desember 1978

Pendidikan

S-2: Manajemen Desain, University of Northumbria, New Castle, Inggris

S-1: Desain Komunikasi Visual, Institut Teknologi Bandung

Karier

1. Co-founder and CEO PT Sembilan Matahari (2005-sekarang)

2. Co-founder Bandung Creative City Forum (2008-sekarang)

3. Co-founder Komisi Film Bandung (2019)

Penghargaan

1st Winner of Festival of Lights Championship, Berliner Dom, Jerman (2017)

1st Winner of Classic Category Video Mapping International Light Festival, Rusia (2014)

Grand Prize Winner Projection Mapping Competition pada Zushi Media Art Festival, Jepang (2012)

Piala Citra kategori Naskah Asli Terbaik dan Film Pilihan Favorit Pilihan Penonton JIFFEST (2009)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya