Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Sekolah belum Aman dari Kekerasan

Haufan Hasyim Salengke
23/7/2019 10:05
Sekolah belum Aman dari Kekerasan
Sejumlah siswa melepaskan balon harapan antikekerasan anak dalam Deklarasi Anti Bullying di SMPN 6 Klaten, Jawa Tengah, baru-baru ini.(ANTARA/ALOYSIUS JAROT NUGROHO)

KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memandang sekolah belum sepenuhnya aman dari kekerasan seksual. Pasalnya, hingga kini sekolah masih menjadi tempat kekerasan seksual terhadap anak-anak.

"Pelaku kekerasan seksual pada anak-anak di sekolah, dari kepala sekolah hingga guru. Korbannya beragam, mulai kelas satu SD hingga SMA," kata Komisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu.

Retno menyampaikan, berdasarkan catatan KPAI pada paruh semester pertama 2019, terdapat 13 kasus kekerasan seksual di sekolah. Yang terbanyak terjadi pada jenjang sekolah dasar (SD) dengan 9 kasus dan sisanya usia sekolah menengah pertama (SMP).

Korban tidak hanya dari anak perempuan, tetapi juga dari anak laki-laki. Sebanyak empat kasus merupakan anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual dan sisanya perempuan.

"Ini merupakan sinyal peringatan bahwa anak laki-laki juga tidak aman. Jadi, kalau selama ini kita berpikir laki-laki itu aman dan yang harus dijaga anak perempuan, itu keliru," kata Retno seperti dikutip dari Medcom.id.

Retno melanjutkan pelaku mulai kepala sekolah, wali kelas, guru agama, guru olahraga, guru seni budaya, hingga guru komputer. Guru olahraga dan agama menempati posisi pertama dan kedua sebagai pelaku kekerasan seksual.

Retno menyesalkan perbuatan oknum guru dan kepala sekolah, mengingat sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan ramah anak, apalagi diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

"Ini ironis, seharusnya guru pelindung anak-anak di sekolah dan Undang-Undang Perlindungan Anak memerintahkan melindungi anak dari bentuk kekerasan apa pun. Namun, justru guru dan kepala sekolah ini melakukan tindak kekerasan terhadap anak," ujar dia.

Berdasarkan catatan KPAI, lanjut Retno, juga terdapat fakta 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah. Artinya, delapan dari 10 siswa pernah mengalami kekerasan.

"Sebanyak 45% siswa laki-laki mengatakan guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan. Terus 55% siapa? ternyata sesama murid lebih tinggi," tutur dia.

Ia juga mengungkapkan untuk siswi perempuan, kekerasan antarteman sebaya lebih tinggi, yakni mencapai 78%. "Sebanyak 22% guru dan petugas sekolah ialah pelaku kekerasan, lainnya 78% siapa? ternyata pada lingkungan anak-anak perempuan pelakunya justru teman sebaya. Jadi, perempuan lebih sadis," ucap Retno.

Retno menambahkan, kekerasan seksual di sekolahnya biasanya terjadi di ruang kelas, laboratorium, ruang UKS, hingga kebun di belakang sekolah. "Anak-anak sejak dini harus diajarkan mana bagian tubuh yang tidak boleh dipegang pada orang lain," kata dia.

Selain itu, kata dia, anak harus berani berbicara apa yang terjadi pada dirinya jika mengalami perbuatan yang tidak senonoh. Selama ini, kekerasan seksual yang terjadi berulang disebabkan korban enggan untuk berbicara.

"Begitu juga orangtua hendaknya memperhatikan perubahan yang terjadi pada anak. Orangtua jangan melepaskan sepenuhnya pendidikan anak di sekolah," imbuh dia.

Payung hukum

Terkait dengan berbagai kasus kekerasan di sekolah itu, Ketua KPAI, Susanto, kembali mengingatkan perlindungan terhadap hak anak-anak Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh elemen bangsa, yakni penyelenggara negara, pegiat perlindungan, masyarakat, sekolah, hingga keluarga.

"Kita perlu ingatkan bahwa dengan anak yang terlindungi, maka anak akan berkualitas hidup baik dan ini akan menjadi fondasi negara yang kukuh," tutur Susanto dalam Malam Penganugerahan KPAI 2019 di Jakarta, Jumat (19/7).

Direktur Eksekutif Lembaga Perlindungan Anak Generasi, Ena Nurjanah, mengingatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu kerja keras untuk kembali menggalakkan sosialisasi mengenai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Pasalnya, menurut dia, hanya segelintir sekolah dan guru yang belum mengetahui tentang Permendikbud tersebut. Padahal, payung hukum itu dinilai bisa mengurangi terjadinya kekerasan dan kejahatan di lingkungan pendidikan.

"Paling tidak bisa mengurangi. Jika Permendikbud tersebut digalakkan, tentu bisa dipahami banyak pihak sebagai upaya pencegahan kejahatan seksual. Itu karena dalam beberapa kesempatan, guru bahkan dinas belum mengetahui tentang Permendikbud yang dikeluarkan empat tahun lalu itu. Jadi, upaya-upaya pencegahan tetap harus dilakukan," pungkasnya. (*/S-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya