PERNAHKAH Anda terpikir bahwa hidup sedemikian silang sengkarut? Tidak hanya dalam aktivitas yang tumpang tindih, tetapi juga pikiran yang tak tentu arahnya. Sulit rasanya ditertibkan.
Kebanyakan dari kita hidup di kota besar dengan sejumlah tuntutan yang menanti, menjadikan waktu terasa berjalan lebih cepat. Pagi dengan tergesa berganti ke malam, dan awal minggu dalam sekejap berganti ke akhir pekan. Waktu seakan kurang untuk menyelesaikan banyak urusan sekaligus. Padahal, apa yang sebenarnya tengah kita kejar? Pernahkah berpikir untuk melambatkan ritme hidup kita?
Dalam buku berjudul Slow, kita akan menemukan beberapa tawaran solusi dari pemikiran banyak orang. Buku yang dirilis Studio Geometry itu diisi key opinion leaders, seperti Eva Celia, Dominique Diyose, Rain Chudori, Ayla Dimitri, Adjie Santosoputro, Andy F Noya, Anjasmara, Yura Yunita, Dr Rostiana, Reza Gunawan, Marissa Anita, Tiza Mafira, Nadine Alexandra, juga pendiri Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB).
Banyak sekali pemikiran dan ide sederhana nan cerdas yang mereka jalani sambil tetap berkarya dengan baik. Mereka tentu saja sepakat dengan konsep yang ditawarkan Greatmind yang merilis buku ini: Karena hidup berjalan bukan berlari.
Mereka juga berhenti pada suatu masa, seperti akhir pekan. Jadi, jangan anggap apa yang Anda jalani dengan santai saat akhir pekan itu sebuah kemalasan. Apa salahnya sesekali menghabiskan akhir pekan dengan lebih santai? Misalnya, dengan membatasi penggunaan telepon genggam untuk sementara waktu, menghabiskan hari bersama orang terdekat, melakukan hal-hal yang menenangkan hati beserta pikiran, atau bahkan mengistirahatkannya? Yang terpenting ialah menikmati ini, di sini, kini.
Hal itu dituliskan Adjie Santosoputro bahwa sering kali kita menyadari bahwa tubuh kita ada di sini, tetapi pikiran tidak ikut menyertai keberadaannya di waktu yang sama. Pikiran kita cenderung mengembara ke masa lalu atau melompat ke masa depan untuk merencanakan hal-hal yang belum terjadi. Jarang sepenuhnya ada di sini, untuk benar-benar berpikir dan merasakan sekitar ruang dan waktu yang raga kita tengah singgahi.
Lambat, bukan berhenti. Tidak semua hal bisa dihentikan, dan untuk apa menghentikan sesuatu yang memang sudah seharusnya berjalan seperti hidup? Layaknya kendaraan yang melambatkan kecepatannya agar penumpang di dalamnya dapat melihat, mendengar, dan menyadari lebih banyak apa yang ada di balik jendela, hidup kita pun demikian.
Kitalah kendaraan itu. Pilihan untuk seberapa cepat atau lambat laju diri, ada pada kita yang mengaturnya. Namun, dengan laju lambat yang tepat, kita dapat lebih menangkap detail pemandangan yang terhalang kaca, mungkin juga lebih merasa udara di luar bila kita memutuskan untuk membuka jendela, suara-suara yang tidak tertutup desir angin karena deru cepat mesin, serta sisi-sisi yang tersembunyi kecepatan, yang akan memberi kejutan saat kita memberi perhatian lebih banyak pada sekitar dan tentunya diri kita.
Belajar banyak hal
Tidak semua dalam buku ini membicarakan tentang waktu. Tiap-tiap penulis menuturkan apa yang ada dalam pikiran mereka sesuai dengan apa yang mereka jalani selama ini, baik profesi, aktivitas, maupun pengalaman hidup. Ada senimam keramik, Ayu Larasati, yang justru belajar dari apa yang dibuatnya. Baginya, membuat keramik sangat menarik karena pada setiap langkah prosesnya selalu ada sebuah transformasi.
Dia juga menilai, tanah liat seperti hubungan yang resiprokal, butuh juga untuk 'didengar'. Ia mencontohkan, dalam mentransformasi wujud tanah liat, saat ada keretakan, pastilah ada yang salah dalam prosesnya. Ayu kemudian merefleksikan kembali sekaligus mengingat apa yang salah dalam prosesnya.
Demikian juga dengan pemilihan tanah, dia menuliskan, tanah meski sama-sama tanah liat, memiliki karakteristik yang berbeda sehingga menghasilkan produk yang unik. Untuk itulah dia kemudian sadar, tanah liat yang dikerjakannya ternyata ingin dibentuk ke arah yang tertentu sehingga harus mendengarkan keinginannya juga.
Eva Celia, yang selama ini cukup dikenal irit berbagi kehidupan pribadi, rupanya mau berbagi di buku ini. Dalam tulisannya, Berbagi Keseimbangan Hidup, dia bercerita bahwa apa yang dilakukan manusia tidak lagi didasari pada kesadaran hidup, tetapi mengejar kesenangan sesaat dan instant gratification.
Sebagai perempuan modern, dia merasa melupakan hakikat sebagai perempuan yang perlu juga hidup seimbang. Baginya, perempuan boleh bekerja dan mengejar karier, tetapi jangan juga lupa untuk melakukan self care, nurturing, dan istirahat.
Tidak jauh dengan yang dikemukakan Eva Celia, presenter Marissa Anita menuliskan tentang Mencintai Diri. Dia menolak anggapan cinta diri dianggap sebagai narsisisme. Cinta diri dalam konsep pemikirannya ialah orang yang bisa menghargai diri sendiri sehingga menjadi individu yang lebih baik untuk dirinya dan orang lain.
Digital minimalism
Pada saat peluncuran buku ini, Marissa juga mengungkapkan bagaimana dirinya menjalani slow living dan digital minimalism. Dia mengajak kita untuk lebih bijak menggunakan telepon genggam dan media sosial. Mengapa demikian? Karena secara umum, sulit berhenti melakukan sesuatu yang 'nagih', seperti media sosial yang secara mudah dapat diakses melalui telepon genggam. Padahal, hal-hal yang paling mengilat dalam hidup seseorang, itulah yang sering kali ditampilkan di media sosial, bukan sebaliknya.
Dengan menonton sisi 'mengilap' hidup orang, acap kali kita membandingkannya dengan sisi hidup kita yang paling karatan. Tidak mengherankan bila kita kemudian mengalami gangguan self esteem karena tidak imbangnya apa yang kita bandingkan. Kita tidak melihat kehidupan seseorang itu secara menyeluruh. Kita pun sering tidak mindful atau berada di 'saat ini' ketika tengah mengakses dunia digital.
Seusai pembaca diisi dengan pemahaman tentang diri sendiri, ada bahasan lain yang menarik, yakni Seni Relasi Sehat yang ditulis Reza Gunawan dan istrinya, Dewi Lestari.
Secara ideal, sebuah hubungan akan mengutamakan kerukunan yang bisa diartikan tidak bertengkar dan langgeng alias awet. Realitasnya, banyak hubungan seperti yin dan yang, memiliki sisi terang dan sisi gelap. Salah satu sisi gelap sebuah hubungan memang tidak bisa permanen selamanya, baik relasinya maupun sisi manis dalam hubungan.
Reza dan Dewi juga menuliskan kiat unik bertengkar sehat. Apakah senyatanya ada bertengkar sehat? Ya, asal kita tahu caranya dan melewati tahapan tertentu.
Mereka menawarkan konsep STMJ alias setop, tenang, membuka, jernihkan. Setop artinya jeda saat tahu konflik akan mengalami eskalasi. Tenang, artinya setiap pihak menetralisasi stres dan emosi karena situasi tertentu. Membuka atau Menjalin, artinya kedua pihak mulai membuka 'pipa' yang awalnya ditutup karena sudah memasuki masa tenang. Yang terakhir ialah Jernihkan, ketika kedua pihak bergantian mengambil peran mendengar dengan jelas dan lengkap bergantian sampai muncul pengertian.
Seusai membahas tentang relasi antarmanusia, tidak lupa juga dibahas tentang relasi manusia dengan alam. Nadine Alexandra mengingatkan kita, manusia seyogianya ialah penyeimbang alam. Namun, yang terjadi kini sebaliknya. Manusia justru melupakan dan mengeksploitasi, tanpa menyadari apa yang diambil dari alam tidak akan kembali dalam sekejap mata.
Buku ini, sudah selayaknya dibaca para penghuni kota besar yang membutuhkan pencerahan dalam hidup agar kembali pada kesadaran-kesadaran manusiawi. (M-2)