Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PERSIS cerita pesugihan babi ngepet. Celeng itu ternyata belum mati. Dia bisa hidup lagi jika disentuh istrinya atau didekatkan dengan kain istrinya. Jadi berhati-hatilah dalam hajatan demokrasi 17 April mendatang.
Celengnya belum benar-benar mati; masih hidup, berkeliaran, berkembang biak, dan terus beranak-pinak. Ia ada di sekitar kita dan menjadi apa saja. Seperti air bah yang tak mampu dicegah. Sekarang celeng-celeng itu mewabah dan bergentayangan. Agar kuat, mereka minum susu raja celeng.
Rakyat beramai-ramai menangkapnya, lalu menggotong dan memasukkannya ke dalam kuburan. Tapi celeng-celeng yang beranak-pinak mendatangi kuburnya untuk menyusu. Dengan menyusu ke raja celeng, kuatlah mereka dengan ilmu celengnya. Padahal, konon sebenarnya raja celeng sudah mati.
Untuk menyusu raja celeng, ada syaratnya. Sama seperti pesugihan babi ngepet, yakni harus rela memutus urat malunya, rela kehilangan martabatnya, harus pintar berbohong, menjadi munafik, dan harus benar-benar menjadi celeng. Karena ilmu celeng yang diserap tak lain ialah keserakahan, korupsi, monopoli kekuasaan, dan ekonomi. Keserakahan menguasai kekayaan untuk dirinya sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya.
Begitulah Sindhunata, Sang Penulis, menggambarkan kondisi kemunafikan, kekejaman, dendam, dan perilaku manusia berwatak celeng dalam novelnya yang berjudul Menyusu Celeng. Lewat novelnya ini, pemilik nama lengkap Dr Gabriel Possenti Sindhunata SJ, menggunakan metafora celeng alias babi hutan sebagai hama yang semakin merajalela.
“Celeng sebagai hama politik, ekonomi, koruptor yang serakah, kekuasaan yang tiada habisnya tetap menjadi gejala, dan malah merajalela pada saat ini,” katanya saat peluncuran Menyusu Celeng di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (30/3).
Celeng adalah binatang liar yang sekarang menjelma menjadi kultur di masyarakat. Leng ji leng beh, celeng siji celeng kabeh, semua menjadi celeng. Itulah realitas masyarakat yang digambarkan Sindhunata. Celeng telah menjadi realitas ekonomi, keserakahan kekayaan korupsi yang tidak tahu malu, dan politik kekuasaan yang tidak tahu malu. Celeng agama maupun celeng kebudayaan yang memperalat apa saja menjadi kebutuhan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara moral.
Celeng-celeng ini ada di mana-mana. Sekarang, untuk menjadi celeng pun tak harus datang ke kuburan raja celeng. Kotornya udara yang bercampur dengan nafsu celeng bisa dengan mudah meracuni siapa saja menjadi celeng. Persis seperti kata Nietzsche di awal buku Menyusu Celeng, binatang buas itu tetap hidup dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, bahkan agama.
Jadi tak mengherankan jika di lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat penuh dengan celeng. Di lembaga-lembaga itu, apa saja bisa dicelengkan: jabatan diperjualbelikan secara celeng; anggaran dirancang dengan perhitungan celeng; transaksi proyek-proyek pembangunan celeng; bahkan politik dan agama pun bisa diuangkan dengan uang celeng.
Bermula dari lukisan
Novel setebal 182 halaman ini bermula dari sebuah lukisan. Pelukis yang terkenal dengan lukisan celeng dan pernah mendekam dalam penjara karena aktivitas keseniannya yang dianggap membahayakan pemerintahan saat itu. Djoko Pekik menjadi pembuka jalan cerita.
Sindhunata membuka cerita dengan Jauh Sebelum Celeng yang mengisahkan perjalanan pelukis dalam berkarya. Layaknya sebuah katalog lukisan, Sindhunata menata ulang beberapa lukisan Djoko Pekik dalam novelnya. Seperti uraian lukisan Keretaku tak Berhenti Lama, Anak Warung Nasi, Lukisan Tayuban, Kakek Veteran, dan Dia Anakku.
Lukisan-lukisan itu menjadi sebuah pembuka bagi Shindunata sebelum dia menghadirkan lukisan celeng Djoko Pekik. Namun, pada akhirnya bukan sang pelukis yang menjadi tokoh utama, melainkan lukisannya, celeng. Dalam Menyusu Celeng, Shindunata hanya sekali menyebut nama Djoko Pekik, selanjutnya samar. Yang ada hanyalah celengnya.
Susu Raja Celeng, ialah lukisan pertama pelukis tentang celeng. Dari sinilah lahir penjelasan panjang tentang celeng dan sambung-menyambung dengan lukisan celeng kedua berjudul Berburu Celeng, dan celeng ketiga berjudul Tanpa Bunga dan Telegram Duka.
Meski tak ada nama Indonesia dalam Menyusu Celeng, Sindhunata mampu menata dengan apik alur cerita tiga lukisan celeng dan lukisan-lukisan sebelum celeng sehingga membentuk jalan yang mampu membuka konteks sejarah pergolakan politik Indonesia.
Mulai tragedi 1965, pergulatan orang-orang Lekra, gaya kepemimpinan Soeharto zaman Orde Baru, serakahnya anak-anak Soeharto, sampai peristiwa politik yang melatarbelakangi reformasi 1997-1998 dan keserakahan politik yang sampai sekarang masih terus terjadi.
Meski tanpa menyebut nama para tokoh yang terlibat dan acap kali menggunakan istilah Jawa, seperti neptu, ramalan Jayabaya, dan istilah pewayangan, pembaca bisa merasakan dan mendapatkan konteks sejarah siapa saja nama-nama yang dimaksud. Seperti masa reformasi di halaman 98-101.
Sindhunata yang juga menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Basis dan terkenal dengan salah satu karya sastranya berjudul Anak Bajang Menggiring Angin, mampu mengelaborasi tiga seri lukisan celeng Djoko Pekik menjadi sebuah cerita novel dengan sisipan-sisipan esai yang apik. Menyusu Celeng memang sebuah novel, tapi dengan rapi Sindhunata menyisipkan esainya, seperti di bab Berburu Celeng.
Sebagai novel yang lahir dari lukisan celeng, Sindhunata terus mengelaborasi semakin maraknya celeng-celeng yang terus beranak-pinak. Bagai kurator lukisan, Sindhunata menceritakan lahirnya lukisan-lukisan celeng lainnya.
Lukisan-lukisan ini pun lahir karena sifat celeng yang telah menjalar ke mana saja dan kepada siapa saja. Bahkan, kepada si pelukis celeng itu sendiri. Lalu, lahirlah lukisan celeng modar atau celeng mati. Pelukis menggambarkan seekor celeng betina yang mati telentang. Giginya meringis, taringnya keluar. Di kupingnya hinggap lalat-lalat.
Meski secara artistik lukisan celeng modar tidak terlalu baik, ada juga kolektor yang membelinya. Tak selang lama, si kolektor tadi mati, dan berembuslah isu bahwa si kolektor mati karena membeli lukisan modar.
Si pelukis pun akhirnya menghidupkan kembali celengnya karena ada tawaran dari seorang lain yang mau membeli lukisan celeng modar jika celengnya hidup kembali. Lalu, dibuatlah sebuah lukisan yang dengan imajinasi pelukis mungkin bisa saja menghidupkan kembali celeng yang sudah mati.
Apakah celeng itu benar-benar hidup kembali? “Kenyataannya sekarang seperti ini, dan sekarang menjadi makin parah. Sebuah karya sastra kan tidak hanya pada jaman itu, tapi juga punya perspektif ternyata itu benar. Lalu, saya pikir celeng itu seakan hidup lagi,” kata Sindhunata.
Novel Menyusu Celeng sebelumnya pernah terbit pada 1999 atau awal masa reformasi dengan judul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Sindhunata memandang perlu untuk menerbitkan ulang novel celengnya karna sekarang banyak sekali celeng yang gentayangan. “Sekarang celengnya kok tidak berhenti dan malah ke mana-mana,” kata Shindunata.
Membaca Menyusu Celeng ialah membaca situasi demokrasi terkini di Indonesia. Di mana nama-nama koruptor dan politikus kotor selalu bertambah. Bagi Bandung Mawardi, Menyusu Celeng bisa menjadi bekal menuju hari berdemokrasi 17 April mendatang. “Pada malam peluncuran buku ini, kita adakan larungan celeng untuk memohon agar celeng-celeng itu sungguh-sungguh dibersihkan dan kita sungguh bersih dari hama celeng. Dan menjelang 17 April nanti kita memiliki pemerintahan yang tidak digerakkan naluri celeng,” ucap Sindhunata saat acara larungan dalam peluncuran buku Menyusu Celeng. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved