Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Banyak Anak Milenial Sulit Bedakan Hoaks

Dede Susianti
11/2/2019 01:15
Banyak Anak Milenial Sulit Bedakan Hoaks
(MI/Dede Susianti)

MASIH banyak anak-anak milenial yang tidak bisa membedakan berita hoaks dengan berita yang benar.

Adalah staf ahli di Kementerian Komunikasi dan Informatika yang juga guru besar ilmu komunikasi Universitas Airlangga Henry Subiakto yang menyebutkan hal tersebut.

Henry mengungkapkan hal itu saat menjadi pemateri di seminar nasional bertema 'Ancaman Hoax dan Speech Pada Generasi Digital Dalam Persepektif Hukum', di Universitas Pakuan, Kota Bogor, Sabtu (9/2). Ia mendasarkan keterangannya itu dari hasil survei.

Berdasarkan riset Januari 2019 oleh Sindikasi Pemilu dan Demokrasi dari Founding Father House, yang dilakukan terhadap mahasiswa di Jakarta, Banten dan Jabar, sebagian besar mahasiswa, kaum milenial tidak mampu membedakan hoaks.

"Banyak mahasiswa sulit bedakan hoaks," katanya di seminar yang digagas mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Pakuan.

Sebanyak 69% mahasiswa Jakarta tidak bisa membedakan hoaks, dan hanya 21% yang bisa membedakan. Sedangkan sisanya atau 10% tidak menjawab.

Kemudian, sebanyak 50% mahasiswa di Banten, saat ini tidak bisa membedakan hoaks dan sebanyak 43% mampu. Sedangkan sisanya 7% tidak menjawab.

Dalam riset itu, mahasiswa di Jabar disebut hanya 19% yang tidak bisa membedakan hoaks, 34% bisa. Namun, sebagian besar atau 47% tidak menjawab.

Di situ juga disebutkan bahwa mahasiswa banyak yang gegar teknologi, yaitu bisa menggunakan tanpa pengetahuan dan nalar yang mencukupi. Kemudian, mahasiswa menggunakan teknologi untuk aktualisasi diri, mengabaikan informasi agar dianggap tahu tanpa verifikasi.

"Pada akhirnya mereka terjebak sebagai penyebar hoaks. Dan repotnya lagi mahasiswa dianggap memiliki literasi tinggi," paparnya.

Selain Henry, ada dua pemateri lainnya yakni Edmon Makarim, akademisi dari UI dan AKB Imam Subandi dari Densus 88 Mabes Polri.

Ketiga pemateri memberikan pemahaman tentang hoaks, gambaran kondisi dan dampaknya. Termasuk hoaks dalam persepektif hukum.

Hoaks adalah pesan (kabar bohong) yang dibuat dengan sengaja dan tanpa hak (melawan hukum) sebagai hasil manipulasi fakta, data, video, foto, cerita dan lain-lain. Tujuan si pembuat hoaks itu untuk mengelabui orang banyak agar menerbitkan keonaran.

"Hanya saja perlu dipahami ada pesanp-pesan yang tak termasuk hoaks, seperti target atau harapan yang belum tercapai, kesalahan kalkulasi, wanprestasi, framing media, apalagi analisis opini politik. Itu semua bukanlah hoaks," terang Henry.

Adapun ciri-ciri hoaks adalah menciptakan kecemasan, permusuhan dan kebencian atau pemujaan, harapan yang berlebihan. Kemudian sumber informasi/pembuatnya tidak jelas, tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab, atau klarifikasi terhadap kebenaran fakta.

Hoaks juga menggunakan kata-kata provokatif misal lawan, viralkan, sebarkan, mencengangkan, tangkap, dll. Kemudian, ciri lain hoaks adalah empolitisasi fanatise SARA (politik identitas) dan trauma, masa lalu, dengan teknik fear arousing. Struktur pesan 5 w +1 H tidak lengkap, terutama kapan dan di mananya. Dan yang terakhir, hoaks selalu disebarluaskan lewat media yang privat atau tidak terbuka (WA, Line, Messenger, inbox surat elektronika, dll)

Dalam persepektif hukum, Imam Subandi menjelaskan, masalah tersebut ranahnya ada di legal culture atau budaya polisi. Untuk mengetahui bagaimana itu hoaks adalah dengan berpikir kritis.

"Bagaimana mengetahui itu hoaks? Adalah dengan cara critical thinking. Saya tegaskan hukum bukan lelucon. Jarimu suatu saat bisa mengantarmu ke penjara. Jadi yang dilakukan pun harus hati-hati," ungkapnya.

Disebutkan Imam, hukum adalah upaya terakhir melawan hoaks. Banyak kasus hoaks tidak bisa tersentuh aturan UU ITE maupun UU lain.

UU ITE bisa memberikan sanksi pada konten berupa pemblokiran, tapi tidak mampu menjatuhkan sanksi pidana berbagai pelaku, pembuat dan penyebar hoaks. Justru UU No 1 tahun 1946 banyak dipakai untuk menangani hoaks seperti yang dikenakan pada Ratna Sarumpaet.

Sementara itu, hoaks yang berisikan penghinaan dan pencemaran nama baik itu diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Di mana setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistrubusukan dan atau mentransformasikan dan atau membuat dapat diaksesnya IE atau DE yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik, terancam pidana penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar ( 2016 oleh pemerintah diturunkan menjadi 4 tahun dan denda Rp 750 juta) tersangka bisa ditahan langsung. Hal itu mengacu pasal 310 dan 311 KUHP.

Sementara untuk penyebaran rasa kebencian dan permusuhan diatur dalam Pasal 28 UU ITE (ilegal content) ayat 1 dan ayat 2nya mengacu pada pasal 156, 156a,157 KUHP dan pasal 14 UU no 40 tahun 2008. Ancaman pidana pasal 45 penjara maksimal 6 tahun dan denda Rp 1 miliar. Pelaku bisa langsung ditahan.

Sementara itu, Ajun Komisaris Bambang Gunadi selaku penyelenggara yang juga mahasiswa pascasarjana di Universitas Pakuan mengatakan ada beberapa tujuan dan target dari acara tersebut.

"Tujuannya, untuk mengetahui secara mendalam batasan berkomunikasi dan berbagi informasi secara baik dan benar, sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Kita juga ingin membantu memberi kesadaran hukum kepada masyarakat batasan penyebarluasan infromasi digital," ungkap Bambang.

Selain itu juga, lanjutnya, ingin menemukan isu global dalam perkembangan dunia informasi. Kemudian membantu menyelesaikan permasalahan hukum dalam penyebaran infomasi digital khususnya terkait dengan hoaks dan hate speech.

"Kalau targetnya, kita ingin memberikan gambaran kondisi secara umum mengenai kasus hoaks dan hate speech. Terus siapa yang bertanggung jawab dan juga gambaran, kondisi secara khusus mengenai kasus hoaks dan hate speech yang terjadi di Indonesia," terangnya.

Sasaran lainnya adalah memberikan gambaran isu kekinian dan perkembangan program-program pemerintah terhadap proses penanganan hoaks dan hate speech.

Selain mahasiswa, seminar itu diikuti 100an peserta kalangan umum dari berbagai profesi. (O-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya