SETELAH membaca hasil evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani geleng-geleng kepala.
Pasalnya, dari 15 indikator kinerja pelaksanaan program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK), hampir semua mendapat rapor merah.
Saat membuka Rapat Kerja Nasional Program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga 2015, pada Senin (30/3), Menko PMK memberikan contoh sejumlah indikator yang tidak tercapai dari RPJMN 2010-2014.
Salah satunya ialah tingkat angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) berjalan stagnan sebesar 2,6 dalam 10 tahun terakhir.
Artinya dalam satu dekade belakangan, rata-rata jumlah pasangan usia subur di Indonesia memiliki lebih dari 3 anak.
Padahal target 2014 TFR sudah 2,1.
Tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terlayani (unmeet need) berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 mencapai 9,1.
Bahkan, pada SDKI 2012 angkanya malah melonjak menjadi 11,5.
Padahal, target 2014 tingkat unmeet need bisa diturunkan menjadi 6,5.
Di samping itu, angka laju pertambahan penduduk (LPP) naik dari 1,45% menjadi 1,49%.
Padahal, target yang dipatok pada tahun ini ialah 1,41%.
"Dari banyak indikator yang tidak tercapai, jelas program KB kedodoran pada saat ini," ujar Puan prihatin.
Menko PMK menambahkan, jika rapor merah KKBPK tidak segera dibenahi, bukan tidak mungkin ancaman terjadinya ledakan penduduk di Indonesia bakal terjadi.
Saat ini saja dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta orang, Indonesia menempati urutan ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.
Sejatinya, lanjut Puan, penduduk yang melimpah harusnya bisa menjadi berkah.
Namun, hal itu bergantung pada kualitas penduduk tersebut. Dia mengingatkan saat ini sebetulnya negara kita tengah menghadapi masalah kependudukan yang cukup serius.
Dengan LPP 1,49%, artinya setiap tahun hampir 5 juta orang lahir di Indonesia.
Namun, sayangnya pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi kualitas penduduk yang mumpuni.
Untuk kualitas penduduk, saat ini Indonesia berada di peringkat 124 dunia dari 187 negara.
Menurut Puan, publik tidak perlu heran jika indeks kualitas penduduk Indonesia jeblok.
Pasalnya rata-rata pendidikan penduduk Indonesia ialah 5,8 tahun atau tidak lulus sekolah dasar (SD).
Melimpahnya jumlah penduduk yang tidak berkualitas tentu akan mengancam kondisi bonus demografi yang diprediksi puncaknya terjadi pada 2020-2030.
Bonus demografi ialah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif 15-65 tahun lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia di bawah atau di atas 15-65 tahun.
Bonus demografi akan meningkatkan produktivitas nasional yang berujung pada kesejahteraan asalkan memenuhi prasyarat.
Prasyarat itu ialah peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan keterampilan, pengendalian laju pertambahan penduduk, serta dukungan kebijakan ekonomi.
Dalam sejarah kependudukan, bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam seumur hidup.
Negara-negara yang telah berhasil memanfaatkan jendela peluang (window of opportunity) dalam bonus demografi di Asia ialah Jepang dan Korea Selatan.
Mereka kini telah menjelma menjadi negara maju.
Tidak hanya mengancam kondisi bonus demografi, kondisi kependudukan pada saat ini juga mengancam upaya percepatan Indonesia menjadi kekuatan 10 besar ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita lebih dari US$15 ribu dan PDB Rp4,5 triliun pada 2025.
Jika hal itu tercapai, Indonesia akan menembus 7 besar dunia di usia kemerdekaan ke-100 pada 2045.
Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 ini memungkinkan tenaga kerja dan industri asing masuk antarnegara.
Warga Indonesia, kata Puan, terancam bakal menjadi buruh di negara sendiri karena kualitas sumber daya manusia yang rendah.
Untuk mencegah terjadinya ekses-ekses negatif tersebut, Puan meminta agar program KB kembali bangkit.
Ia mengatakan program KB terpuruk selama ini karena program itu tidak sinkron dengan program yang lain.
Dia memberi contoh program KB tidak selaras dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Berbeda dengan tujuan KB yang mengatur tingkat kelahiran, dengan menyarankan cukup dua anak, program JKN menanggung jaminan kesehatan peserta sampai anak ketiga.
Bahkan di dalam JKN, ditanggung juga semua biaya persalinan anak.
Selain itu, program KB tidak didorong secara maksimal oleh daerah.
Hal itu bisa terlihat dari rendahnya pemda yang membangun lembaga KB dan rendahnya alokasi dana yang diberikan dari APBD.
PLKB/PKB yang sebelum era otonomi daerah mencapai sekitar 36 ribu orang berbanding 60 ribu desa/kelurahan kini juga menurun tinggal sekitar 16 ribu orang untuk melayani 81 ribu desa/kelurahan.
Menjadi momentum Dengan mengingat hal itu, lanjut Puan, Rapat Kerja Nasional Program (Rakernas) Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga 2015 yang akan menjadi dasar pembentukan RPJMN di bidang kependudukan 2015-2019 harus dapat menjadi momentum untuk membangkitkan kembali program KB.
Hal senada juga disampaikan Plt Kepala BKKBN Ambar Rahayu.
Menurut dia, ajang rakernas akan dijadikan sebagai tempat untuk menggalang sinergi dan koordinasi antarkementerian/lembaga yang terkait.
Menurut Ambar, kegiatan prioritas kependudukan tidak mungkin dapat dicapai sendirian oleh BKKBN.
Dukungan dari pihak terkait, baik di pusat dan daerah, kata dia, sangat dibutuhkan.
Dia menambahkan, program KKBPK telah masuk 9 Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) pada butir ke-5, yakni meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
"Hal yang paling mendasar tahun ini ialah merumuskan strategi dan melakukan optimalisasi kinerja pengelolaan program KB," sebut Ambar.
Untuk RPJMN 2015-2019 sendiri, telah disusun sasaran kinerja BKKBN.
Di antaranya laju pertambahan penduduk (LPP) pada 2019 dipatok menjadi 1,19, angka kelahiran total (TFR) menjadi 2,28 dan kebutuhan ber-KB tidak terpenuhi bisa menjadi 9,91. (S-25)