Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mewacanakan mengembalikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sebagai mata pelajaran dalam kurikulum di sekolah. Alasanya, rentannya para siswa, guru, dan masyarakat umumnya terpapar virus radikalisme, intoleransi dan antikebinekaan.
Wacana itu menuai penolakan dari organisasi profesi Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) karena dianggap membangunkan kembali memori lama terkait Orde Baru.
Menurut FSGI, apabila PMP jadi diterapkan sebagai mata pelajaran baru, akan membuang-buang tenaga, energi dan pikiran baik para guru dan siswa.
Selain itu, menghidupkan kembali PMP jadi mata pelajaran baru, sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi dan menyalahi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang masih berlaku, tidak ditemukan nama PMP.
Begitu pula di semua Permendikbud tentang Standar Isi dan aturan teknis penyelenggaraan Kurikulum 2013 lainnya, tidak akan menemukan nama PMP.
"Jadi apa yang dilakukan Kemdikbud ini sudah keliru secara yuridis," ungkap Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (28/11).
Baca juga: Ketua MPR Setuju PMP Dihadirkan Kembali
Menurutnya, Peraturan Menteri Pendidikan No. 20, 21, 22, dan 23 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian (semuanya adalah aturan teknis Kurikulum 2013 revisi), sudah memuat kata Pancasila, khususnya dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Oleh karena itu, berdasarkan penjabaran dan analisa FSGI, FSGI merekomendasikan untuk tidak menambah mata pelajaran PMP karena sudah cukup muatan nilai-nilai moral (karakter Pancasila) yang dibebankan kepada sekolah, guru dan siswa dalam mata pelajaran PPKn.
"Sekolah dan pendidikan nasional kita sudah sangat penuh beban muatan nilai-nilai moral yang normatif," ucapnya.
Ia melanjutkan Kemdikbud setidaknya sudah punya empat program penanaman karakter moral Pancasila itu di sekolah melalui pelajaran PPKn sebagai matpel wajib (SD-perguruan tinggi), Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang saat ini gencar disosialisasikan, melalui ekstrakurikuler wajib, pramuka yang semua nilai-nilai moral Pramuka bersumber dari Pancasila dan ekstrakurikuler lainnya seperti Paskibra, dan melalui pembiasaan/habituasi penanaman nilai-nilai karakter, di sekolah yang diformulasikan menjadi budaya sekolah.
Ia menambahkan nilai-nilai karakter dan moral Pancasila sedang dimulai dipraktikkan dalam pembelajaran, terkhusus dalam Kurikulum 2013.
“Bagi FSGI, yang dibutuhkan adalah aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran, iklim yang pancasilais di sekolah dan terpenting keteladanan dari elit dan pemerintah,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim.
Ia menjelaskan model PMP tetap bertahan sampai lahirnya Kurikulum 1984. Nilai-nilai normatif Pancasila seperti tenggang rasa, gotong-royong, dan tanggung jawab disampaikan secara doktrinatif oleh guru dan sarat kepentingan hegemoni Orde Baru kala itu.
Pada 1994, lahirnya kurikulum baru, mata pelajaran PMP dihilangkan dan berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Itu dikuatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 2 Tahun 1989.
"Secara historis memang PMP sudah diidentikkan dengan Orde Baru dan praktik pembelajarannya yang normatif, membosankan dan disampaikan secara monolitik di ruang kelas," ucapnya.
Akhirnya, setelah reformasi 1999, imbuhnya, Tap MPR No II/1978 tentang P-4 itu dicabut dan lembaga BP-7 sebagai penyelenggara doktrin P-4 juga dibubarkan. PMP berganti menjadi PPKn, yang secara konten juga sama memuat nilai moral Pancasila. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved