Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dinamika Religi dan Takdir Tiga Anak Manusia

Fathia Nurul Haq
27/10/2018 04:00
Dinamika Religi dan Takdir Tiga Anak Manusia
(MI/Caksono)

PERNAHKAH membayangkan anak-anak dari keluarga religius sederhana di sebuah desa kecil di Kediri, kelak akan dibawa takdir berkelana dalam arti sebenarnya? Ya, takdir terkadang bisa sebegitu mengejutkannya.

Aminah, si anak tengah, menghabiskan hari-harinya sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak dan suami yang setia dan berkecukupan. Namun, dalam hati ia berkecamuk menyimpan rahasia dan kebingungannya akan jalan hidup kakak dan adiknya, Annisa dan Hanif.

Cerita ini dimulai dengan plot maju dan mundur lewat perspektif tiga kakak beradik beda nasib itu secara ajaib. Saat Annisa, si anak tertua, pulang ke hadirat Yang Kuasa secara mendadak, Aminah dan Hanif, dua adiknya pun berupaya mencari jalan pulang mereka masing-masing. Namun, perjalanan pulang terkadang bukanlah perkara sesederhana memesan tiket via aplikasi menuju suatu tempat yang sudah pasti, melainkan perjalanan panjang yang mendewasakan, berliku, dan mengejutkan.

Tiket milik Aminah bertujuan Banjar Melati, kampung halamannya. Satu-satunya tempat yang baginya menjanjikan kedamaian dari kehilangan kakak kandungnya. Aminah tak peduli lagi pada karier menterengnya di Jakarta. Ia pamit dari jabatannya sebagai akuntan publik untuk perusahaan besar di Jakarta lewat secarik surat yang dikirim via kantor pos.

Lain Aminah, lain pula dengan Hanif, si bungsu yang sudah malas bicara pada kakaknya itu bergegas meninggalkan Jakarta untuk pergi ke India, negara yang sama sekali asing baginya dan hanya diketahuinya dari komunitas homoseksual. Ya, ia ialah si bungsu sekaligus anak laki-laki satu-satunya dari keluarga religius yang menjadi homoseksual.

Berbagai konflik berkembang dalam Banjar Melati dengan berani.

Seperti siklus hidup yang tidak tertebak, Ahmad Zaenuddin, penulisnya, menghadirkan fenomena gap generasi dan dinamika kaum urban yang sebetulnya kerap dijumpai sehari-hari dalam kacamata yang realistis milik Annisa, naif milik Aminah, dan pemberontak milik Hanif. Inilah yang membuat Banjar Melati cukup memantik penasaran, alurnya berkembang dalam ketidaktertebakan yang hidup, sebagaimana alur kehidupan kita.

Apalagi, Annisa yang diceritakan meninggal dunia sejak halaman pertama buku itu tetap bertutur menceritakan kisahnya sebagai si sulung yang ter jerembap jadi perempuan penghibur. Latar religius yang kental dari pengalaman ketiganya sebagai saudara kandung dari desa kecil yang islami di Kediri ini menjadikan fenomena liku kehidupan mereka penuh perenungan.

Adalah kenyataan yang harus dihadapi setiap orang untuk menjawab pertanyaan hidupnya dan menemukan dirinya, kendati harus berseberangan dengan nilai-nilai religius yang ditanamkan padanya sejak kecil. Di tengah kenyataan hidup saudara dan saudari kandungnya itulah, Aminah si anak tengah yang tidak pernah keluar negeri dan tidak berencana meninggalkan Banjar Melati lagi menghabiskan 20 tahun hidupnya berkeluarga dan membesarkan dua anaknya.

Bukankah mengejutkan bagaimana manusia yang lahir dari rahim yang sama, dibesarkan dengan cara yang sama, dan ditanamkan nilai keagamaan yang sama, tumbuh dewasa menjadi tiga pribadi yang bertolak belakang satu sama lainnya?

"Saya ingin pembaca ikut mengalami perjalanan ini sehingga ikut juga menjadi dewasa," demikian penjelasan Ahmad Zaenudin, yang membutuhkan waktu 10 tahun, menulis dan merampungkan novel keduanya, Banjar Melati, dalam Ubud Writers and Readers Festival 2018di Ubud, Jumat (26/10).

Penutur kehidupan

Ahmad tidak muluk membangun ceritanya. Fiksi ini, menurut Ahmad, ialah pengembangan dan fantasi dari realitas yang betul-betul ia temukan dalam kesehariannya. Banjar Melati diambil dari nama desa sungguhan di Kediri, yakni Banjarmlati. Lagi, Banjarmlati sesungguhnya betul-betul desa tempat pria yang kini menetap di Perth, Australia ini berasal.

Ahmad memulai penulisan Banjar Melati sejak 2008. Seperti Aminah, sehari-hari ia berprofesi sebagai akuntan publik untuk perusahaan besar di Perth, Australia. "Saya memang suka menulis, tapi di zaman itu jadi penulis sepertinya tidak ada dalam daftar cita-cita. Sastra Indonesia bukan pilihan yang dianjurkan guru BP," aku Ahmad yang malah mengambil jurusan fisika saat SMA, lalu menamatkan kuliahnya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Berpuluh tahun menggeluti laporan keuangan dan neraca akuntansi yang kaku serta tendensius tidak membuatnya melupakan dunia kepenulisan. Ia tetap menulis saat senggang, atau saat sedang butuh pelarian dari kegelisahan.

Keinginan untuk kembali menulis terpantik malah ketika cobaan berat menempa hidupnya, yakni kehilangan ibunda tercinta di Kediri. "Pada saat itu saya merasa amat butuh pelarian dari kegelisahan. Saya harus healing. Dalam dua bulan saya selesaikan novel pertama saya, Ketika Emak Memakai Celana Dalamku, lalu terbit Oktober tahun lalu," kisah Ahmad.

Buku itu, menurut Ahmad, murni merupakan kisah nyata hidupnya yang ia angkat dalam sebuah novel. Lantaran ditujukan sebagai sarana menyembuhkan diri dari kehilangan yang berat, Ia tak lagi muluk mengharapkan naskahnya diterbitkan oleh penerbit arus utama seperti sebelumnya.

Ia pun menerbitkan sendiri cerita 100 halaman itu dalam dua bahasa sebanyak 500 eksemplar yang didistribusikan mandiri olehnya di Indonesia dan di Australia. "Buku itu bilingual, jadi 200 halaman. Makanya bisa dijual di Australia. Sambutannya pun meriah, sampai dibuatkan bedah bukunya," kisah pria yang dikenal blak-blakan itu.

Meski hobi, Ahmad mengakui tak mudah baginya yang sudah berkarat dalam tumpukan laporan keuangan dan neraca yang kaku untuk kembali menulis. Apalagi, lanjutnya, saat ini usianya sudah menginjak 42 tahun. "Saya seperti hidup dengan dua otak saat menyelesaikan ini. Satu untuk berpikir realistis, satu untuk berpikir kreatif. Saya tidak bisa menulis kalau pulang kerja, harus tunggu akhir minggu dulu, atau kalau saya sedang senggang," kisah Ahmad.

Banjar Melati merupakan buku setebal 443 halaman yang bisa didapatkan lewat pemesanan online via Instagram @tokobudi dan @indiebookcorner, juga website www.bukuindie.com.

Ahmad Zaenudin juga membuka diri pada pemesanan langsung melalui nomor pribadinya yang berbasis di Australia +61458129374. Pemesanan langsung kepada penulis akan mendapat buku bertanda tangan resmi.

=======================

Judul : Banjar Melati, Dinamika Religi dan Takdir Tiga Anak Manusia

Pengarang : Ahmad Zaenudin

Penerbit : Indie Book Corner

Terbit : 2018

Tebal : 443 halaman



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya