Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
SEMBILAN tahun sudah, Presiden ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid berpulang. Namun, sosok fenomenal itu tetap melekat di ingatan para sahabat-sahabatnya.
Bondan Gunawan, mantan Menteri Sekretaris Negara yang juga salah satu sahabat dekat Gus Dur mencoba merunut awal pertemuan hingga saat-saat terakhirnya. Salah satu kenangannya ialah saat mereka dan beberapa orang lainnya berinisiatif untuk membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991.
Persahabatan Bondan dengan Gus Dur bukan kisah biasa. Dari tangan keduanya, lahir rintisan demokrasi di negeri ini. Bondan yang memiliki latar belakang aktivis pergerakan berkolaborasi dengan Gus Dur yang besar di kehidupan santri dengan tradisi intelektualitas yang kuat.
Meski berbeda, dua elemen ini justru saling mengisi dan memberikan warna. Mereka memiliki kesamaan visi penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, kepedulian yang besar kepada golongan minoritas, dan pejuang kesetaraan hak warga negara di muka hukum.
Dalam buku setebal 328 halaman itu, dikisahkan juga perjuangan Bondan bersama Gus Dur di luar pemerintahan pada masa transisi menuju era reformasi, hingga perjuangan mereka di dalam pemerintahan. Meskipun hanya sebentar di dalam pemerintahan.
Pergaulan mereka dengan berbagai elemen sesama anak bangsa dari aneka latar belakang, menyemaikan benih-benih semangat persaudaraan sejati yang bisa dinikmati dalam buku ini.
Bondan bersama rekan seperjuangannya berhasil menyematkan julukan istimewa bagi Gus Dur sebagai 'Guru Bangsa'. Sementara itu, Gus Dur menyebut Bondan sebagai 'Banteng yang berkeliaran di mana-mana di luar habitatnya' sebagai kiasan bahwa dialah seorang nasionalis, marhaenis, atau soekarnois yang bergerak di luar organisasi resmi kaum nasionalis.
Suatu ketika, Gus Dur pernah mengatakan kepada Bondan, "Setiap masalah selalu ada jalan keluarnya. Betapa pun rumitnya, selalu bisa dicarikan solusinya, tetapi bukan dengan menyederhanakan masalah.
Itu merujuk pada nilai-nilai ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Jadi, menurut Gus Dur, itulah sebabnya dalam konteks nasional, pemuka Islam di Indonesia memiliki NKRI sebagai negara-negara yang mengutamakan wawasan serta pendekatan kebangsaan, bukan negara Islam.
Saat peluncuran buku itu di Jakarta, Rabu (25/7) malam, Bondan mengungkapkan, tadinya buku itu akan diterbitkan ketika ia berusia 65 tahun, pada 2013. Namun, pembuatan buku harus tertunda lima tahun lamanya karena kedua orangtuanya meninggal dunia. Barulah di umurnya yang ke-70 ini, buku itu rampung dibuat.
"Buku ini ditulis oleh orang yang baik hati dan sangat santun. Namun, juga merupakan orang yang sangat objektif yang mau bicara apa adanya. Maka buku ini akan sangat terlihat berimbang. Kerinduan terhadap Gus Dur semakin besar dengan adanya banyak buku tentang Gus Dur apalagi tiga tahun belakangan ketika republik semakin buruk dan politik semakin liar kita akan semakin merindukan Gus Dur. Kita merindukan kecerdasannya dan kecakapannya dalam berbicara," ungkap Mochtar Pabottingi, peneliti senior LIPI.
_________________________________
Judul: Hari-Hari Terakhir Bersama Gus Dur
Penulis: Bondan Gunawan
Penerbit: Kompas
Terbit: Juli 2018
Tebal: 328 halaman
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved