Headline

KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.

Penyimpan Karbon Biru yang Terabaikan

M-2
28/7/2018 06:30
Penyimpan Karbon Biru yang Terabaikan
(AFP/BRENDAN SMIALOWSKI)

TIDAK jarang keberadaan padang lamun hanya dianggap pengganggu oleh nelayan. Biota laut berbentuk mirip rumput itu memang kerap menyangkut di baling-baling kapal. Selain itu, tidak seperti mangrove dan rumput laut (seaweed), hampir tidak ada olahan makanan yang bisa dibuat dari lamun (seagrass).

Meski manfaat ekonomi bukan langsung dirasakan, lamun sesungguhnya berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Padang lamun merupakan tempat biota laut mengasuh dan membesarkan anaknya, serta tempat mencari makan bagi ikan-ikan karang dan satwa laut berukuran besar, seperti penyu dan duyung. Selain itu, lamun memiliki kapasitas untuk menyerap karbon dari atmosfer. Sebab itu pula, ia menjadi ekosistem penting karbon biru (blue carbon).

"Dia kelihatan kecil, sama dengan rumputan biasa, tapi kapasitasnya dalam menyimpan karbon itu tidak kalah dari mangrove yang besar," terang dosen sekaligus peneliti dari Universitas Hasanuddin, Rohani Ambo Rappe, dalam acara Blue Carbon Summit 2018 yang dihelat di Perpustkaan Nasional Indonesia, Rabu (18/7). Rohani menyampaikan riset tentang Variabilitas Penyimpanan Karbon dalam Habitat Lamun.

Sayangnya, habitat lamun telah banyak berkurang. Penurunan padang lamun secara global dari rata-rata 0,9% pertahun sebelum 1940, setelah 1990 angka tersebut bertambah hingga 7% per tahun. Bahkan, diperkirakan bahwa 29% dari distribusi global lamun telah hilang sejak akhir abad ke-19.

Saat ini, diperkirakan area lamun global sekitar 177.000 km2. Sementara itu, di Indonesia, luas padang lamun diperkirakan 1.507 km2. Dari jumlah tersebut hanya 5% lamun yang tergolong sehat, 80% tergolong kurang sehat, dan 15% tidak sehat.

Indonesia juga punya 15 spesies lamun, dari 72 spesies di dunia. Perkembangan penelitian lamun di Indonesia dapat diturut dari Zollinger (1848) sampai Kostermans (1962) yang mengumpulkan lamun untuk koleksi herbarium. Data itu kemudian digunakan oleh den Hartog (1970) menulis buku The Seagrasses of the World. Dalam buku itu termasuk taksonomi, distribusi dan ekologi lamun dari perairan Indonesia.

"Memang penelitian tentang lamun di Indonesia baru dimulai tahun 1980-an dan memang ilmu menggenai padang lamun itu kita sangat lambat sekali," terang Rohani Ambo Rappe yang menggeluti lamun sejak 2003.

Perbandingan dengan mangrove

Banyak aspek menarik dari lamun. Peranan lamun sebagai penyimpan karbon biru tidak kalah dari mangrove. Perbedaannya terletak pada luasan dan biomassa.

"Karena biomassanya lebih kecil dari biomassa mangrove, kalau per satuan luas yang sama. Jelas mangrove lebih tinggi dibandingkan lamun, tapi kalau kita kalkulasi seluruh dunia, kalau kita berhitung global. Itu lamun lebih besar," terus Rohani.

Selain itu, lamun mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan mangrove secara fungsi. Lamun tidak banyak digunakan atau dimanfaatkan untuk kebutuhan lain selain kepentingan ekologis.

"Lamun itu tidak banyak digunakan, semata lamun itu digunakan untuk habitat. Tanaman yang paling potensial untuk menjadi blue carbon, kalau dia tidak dikonsumsi," tegas Rohani.

"Itu mayoritas (fungsi ekologi), meskipun dugong makan lamun, penyu juga makan lamun, tapi itu tidak banyak. Ikan-ikan makan lamun juga tidak banyak," tambahnya.

Selain itu, kelebihan lamun jika dibandingkan dengan mangrove ialah titik sebaran. Lamun tersebar di seluruh dunia, sedangkan mangrove terbatas. Selain itu, pemulihan lamun juga cepat jika dibandingkan dengan mangrove.

Sebab lamun bisa beradaptasi dengan arus, gelombang, dan perakarannya kuat. Itulah penyumbang karbon yang besar.

"Kalau kita berpikir yang kecil-kecil, hitungan minggu dia sudah ganti daun, sedangkan lamun yang besar dalam hitungan bulan. Tumbuhnya lamun lebih lambat dibanding rumput darat. Meskipun lamun itu rusak, kerusakannya itu tidak separah mangrove karena akar dan dia lebih cepat recovery-nya," tegas perempuan yang menjadi dosen sejak 1993.

Meski demikian, restorasi lamun tetap menghadapi masalah serius, yakni masalah dari alam dan manusia. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan lamun karena melihat jumlahnya yang banyak.

"Restorasi lamun sebenarnya mudah, saya sudah melakukan itu. Yang penting yang kita jaga itu gangguan manusia," tambah Rohani.

Selama lahan restorasi dijaga dan dirawat, lamun akan cepat tumbuh. Ukuran keberhasilan restorasi padang lamun dan mangrove ialah jika berhasil melalui semua siklus, berbuah, berbiji, dan penutupan.

Di sisi lain, meski lebih tinggi daripada mangrove dalam penyimpanan karbon, kemampuan padang lamun masih kalah daripada rawa asin.

"Lamun itu tengah, yang tinggi rawa asin, yang rendah mangrove," terang peneliti dari Yayasan Lamun Indonesia, Wawan Kiswara.

Menurut Wawan, asal tidak diganggu, lamun bisa pulih. Masalahnya kecepatan gangguannya lebih tinggi daripada kecepatan pulihnya. Berdasarkan eksperimen lamun juga tahan terhadap gangguan, bahkan lamun bisa hidup dengan sedikit cahaya.

"Lamun itu baru mati, berdasarkan eksperimen, setelah 250 hari tidak ada cahaya," pungkasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya