Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Jejak Pieter Erberveld di Batavia

*/M-4
21/7/2018 06:00
Jejak Pieter Erberveld di Batavia
()

PIETER Erberveld, nama yang begitu asing dalam sejarah Indonesia. Erberveld atau Elberveld (beberapa penulisan Erberveld atau Elberveld terdapat dalam buku ini) dikisahkan pernah dihukum mati Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada 1721.

Erberveld yang keturunan Indo Jerman-Siam dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC. Ia dihukum mati bersama Kartadriya dan 17 orang penduduk asli lainnya di halaman selatan Benteng Batavia, bukan di halaman Balai Kota.

Pelaksanaan hukuman mati itu digambarkan sangat sadis, dilakukan dengan menarik kedua tangan dan kaki, masing-masing diikat pada seekor kuda hingga tubuhnya terpotong. VOC ingin memberikan efek jera kepada penduduk agar tidak lagi mencoba-coba melakukan perlawanan pada mereka.

Tubuh Elberveld dimakamkan di suatu sudut di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta, dan di sana kemudian didirikan suatu tugu peringatan. Di tugu itu dipajang tengkorak Elberveld yang ditusuk tombak dan di bawahnya terdapat prasasti.

Kampung tempat makam ini sekarang dinamakan Kampung Pecah Kulit yang terletak di kawasan Tamansari, Jakarta Barat, DKI Jakarta. Nama itu diberikan konon karena kulit Elberveld terkelupas akibat hukuman itu.

Buku ini

Dalam buku ini sebenarnya terdapat dua buah jurnal yang dibuat William Bradley Horton dan Mayumi Yamamoto. Kedua jurnal ini pun menceritakan tentang sejarah Elberveld dengan berbeda.

Dalam jurnal William Bradley Horton yang berjudul Petualangan Modern Pahlawan Indonesia Abad Ke-18, ia berupaya melacak alur perkembangan cerita dari Pieter Elberveld dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Ia membagi kisah Pieter Elberveld menjadi 7 subbab yang mengisahkan dari awal penceritaan tentang Pieter Elberveld.

Bradley Horton lebih menyoroti mengenai kisah Elberveld yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan Melayu dan pemahaman orang Indonesia mengenai sejarah Pieter Elberveld.

Sementara itu, Mayumi Yamamoto lebih memfokuskan diri pada bagian sudut pandang orang Jepang yang menggantikan penjajahan Jepang.

Untuk memudahkan pembacanya, buku setebal 224 halaman itu disajikan dalam bentuk dua bahasa. Bahasa Indonesia pada bagian depan dan Inggris pada bagian belakang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik