Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Untuk Tekan Perokok, Naikkan Harga Rokok Jadi Rp70 Ribu

Putri Rosmalia Octaviyani
17/7/2018 21:25
Untuk Tekan Perokok, Naikkan Harga Rokok Jadi Rp70 Ribu
(ANTARA FOTO/Dewi Fajriani)

KOMISI Nasional Pengendalian tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil studi yang mengungkap bahwa harga tinggi merupakan cara paling ampuh untuk memaksa masyarakat berhenti merokok.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 1.000 responden pada Mei 2018 tersebut, harga rokok yang dianjurkan untuk mengerem perokok ialah Rp70 ribu per bungkus.

Responden penelitian tersebut terdiri atas 40,4% perokok aktif, 50,1% responden non-perokok, dan 9,5% responden mantan perokok. Sebanyak 51,32% responden dengan tingkat pendidikan rendah dan 48,41% responden dengan tingkat pendidikan menengah adalah perokok aktif.

Renny Nurhasanah, anggota tim peneliti PKJS-UI, mengatakan sebanyak 66% dari 404 responden perokok menyatakan akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp60 ribu per bungkus. Sementara sebanyak 74% dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi Rp70 ribu per bungkus.

"Hal ini menunjukkan dukungan yang positif dari para perokok sendiri untuk menaikkan harga rokok secara signifikan dibanding harga rokok yang sekarang ada, yaitu rata-rata Rp17.000 per bungkus," ujar Renny, di Jakarta, Selasa (17/7).

Dari penelitian itu juga diketahui, prevalensi perokok aktif pada responden dengan penghasilan keluarga di bawah Rp2,9 juta dan antara Rp3 juta-Rp6,9 juta mencapai 44,61% dan 41,88% berturut-turut. Angka itu lebih tinggi dibandingkan responden dengan penghasilan keluarga di atas Rp7 juta yang prevalensinya sebesar 30,91%.

Di Indonesia diketahui sebagian besar perokok atau 57,9% menghabiskan 1-2 bungkus rokok per hari dengan rata-rata belanja rokok per hari adalah Rp24.261. Renny mengatakan, tidak mengherankan jika Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa rokok menyumbang kemiskinan.

Dalam kesempatan yang sama, Chief of Communications and Partnership, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel juga menyebut masalah rokok sangat dekat dengan persoalan kemiskinan. Ini disebabkan dominasi pengeluaran untuk rokok di kalangan masyarakat miskin sangat besar yang merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras. Nilainya mencapai 11% dari total pengeluaran rumah tangga miskin.

"Pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok yang sedemikian besar, mengurangi kemampuan masyarakat miskin untuk pengeluaran makanan bergizi seperti telur, pengeluaran untuk pendidikan anak, dan juga pengeluaran untuk kesehatan," ujar Ruddy.

Di sisi lain, berdasarkan data Survey Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas 2016) diketahui jumlah perokok pemula meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 8,8% pada 2016. Padahal sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun sebesar 1% setiap tahunnya.

"Ini menunjukkan, rokok murah juga mendorong anak-anak yang mampu membeli rokok dan dapat teradiksi sehingga menjadi perokok yang tidak dapat berhenti seterusnya," ujar Ruddy. (X-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya