Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Puisi

Bayu Hartendi
08/7/2018 01:30
Puisi
(MI/Tiyok)

Tak Seutuhnya

Tertampung Kata

Para bunga di beranda tak cerita. Tapi senja

itu aku cium serbaknya

Dan aku bercerita tentang malam sentosa

Ketika pundi-pundi berkeliauan tercurah dari

angkasa

Bunyinya gemercing. Ada banyak tersangkut

di dedauanan dan ranting

Sepasang manusia yang tak pernah dilahirkan

saling hisap

Tak ada yang terkesiap

Di sebuah delta, yang tumbuh di pertemuan

tiga muara

Aku lihat kaca rapuh dalam retina matamu

Sebentar lagi akan pecah berhamburan

Desember. Hujan dan angin banter

Lesat bermiliar jemparing memahat gigir

tebing

Di kepala anak selingkar lalang dan perdu

rawa

Setelah tikungan kesekian jalan rahasia

Sederet kata ku lisankan,

"Cinta bagiku tidak sekedar ucap-rayu

semata"

Puisi di dalam diri. Tak seutuhnya tertampung

kata.

Padang (2018)

Sepucuk Angpau Merah

Sepucuk angpau merah. Dari mata kecil

mungil

Aku tidak tahu isinya

Mengakhiri pertemuan. Merapatkan

perpisahan

Jari dirapatkan. Kurasa di dalam kini

menyeka dada

Orang-orang melintas badan jalan.

Perpisahan

Aku pulang kembali kerumah

Aku mencoba membuka angpau merah

Tapi aku ragu membukanya. Biasanya angpau

berisi uang

Tapi, mengapa dia memberiku uang. Aku

tidak membutuhkan uang

Jalanan mulai keruh. Tutup pintu

Pada malam hari, aku buka angpau merah

Aku mengenang orang-orang hilang

Sudah tanggal berapa sekarang?

Padang (2018)

Sindrom Manusia

Malam adalah waktu paling tenang untuk kita

menulis

Di sana kita bisa menemukan

bahwa orang tak sepenuhnya kehilangan

Adalah sang waktu yang mengenalkan

Ketika kamu yang hilang tanpa jejak

Aku bisa mengenang melalui sajak

Sembari memangku harapan-harapan yang

baru dimulai

Hasrat bersanding dengan seorang wanita

Menjadi warna paling

kental dalam untaian doa

Begitulah, satu titik dalam

kehidupan kita,

manakala semesta

mendukung, dan kita pun

berubah tanpa kita

rencanakan

Kita bisa menyukai

sesuatu yang sebelumnya

kita benci

Padang (2018)

Kalau

Coba kalau dulu tak ada

kita

Barangkali aku tak paham

Bahwa di dalam celana

ternyata ada Tuhan.

Padang (2017)

Hujan dan Sepoci Kopi

Foto digital di layar datar

Melukiskan tubuh hingga parasmu

Diam terpaku aku menatapnya

Satu dua detikku palingkan mata

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Bak titik titik embun nan syahdu

Sajak terkuak bak sastra kata

Biar berleleran kata manis madu

Selembar kertas dan sepoci kopi

Perpaduan warna nan mencolok

Hasrat tak dapat terhenti

Pensil menjadi goresan pertama dalam benak

Dinding teras seakan menjadi lembaran

Langitmu berkelepak

Mengirim jerit selaksa gagak

Tarianmu menderu bagai guntur

Jatuh tercurahkan hujan nan sangkur

Katamu hujan itu senyuman

Katamu angin adalah belaian

Namun ketika pelangi mengganti rintiknya

Engkau lupakan tiap tetesnya

Hujan dan sepoci kopi bak penghantar

memori

Berikan aku sebuah kompas

Agar ku dapat mencari jalan pulang.

Riau (2018)

Elegi Tanah Lot

di Sudut Kartograf

Sehampar pulau, susut, sepetak taman, susut,

sebongkah monumen, susut, kenangan, susut,

noktah yang berdenyut, susut, pondasi

budaya batu karang, susut,

tinggallah laut yang bertahun-tahun lamanya

surut

Garam yang mengeras - keringat - bagai jimat

penolak belukar akar,

bahkan lumut emoh nyelimut, memberi

ruang garang

bagi matahari dari laut juga bulan,

lengan kegersangan pengambil-alih langgam

perkotaan

Dinding-dinding pengap, pohon angin asap

merayap

susupi gegantungan jemuran; kerpus, kutang,

kancut, kau, kau, kau:

cacah jiwa di kediaman

Lampu perbanyak kota, tutupi sisi gelapnya,

pulau-pulau tidur,

memeluk jalan, hidupi mimpi - orang-orang

ngamuk,

jebol tembok dan jembatan - perkutut liar

memanggil sarang yang hilang

Sebagai pemakai sandal, pemanggul rindu

dan duka lara,

kau pancurkan hujan dari kendi-kendi tubuh:

kencing dan ludah nir air mata dan peluh

lamalah terseka dan kau nyanyikan lagu tolak

bala

meski akhirnya hanya liang kegelapan:

petarangan benih harapan.

Padang (2017)

Bayu Hartendi lahir di Kumu, Rokan Hulu, Riau. Laki-laki kelahiran 16 April 1997 itu merupakan mahasiswa BP 2015 pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Padang. Buku puisi yang pernah diterbitkannya ialah Diftong (2015), Pasak Negeri (2016), Sudut Kartograf (2017). Bayu tercatat sebagai salah satu peserta di ajang Penyair Asia Tenggara di Padang

Panjang, Sumbar, pada 2018.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya