Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Abstraksionisme dan Ruang Sublim

Iwan Kurniawan
15/2/2015 00:00
Abstraksionisme dan Ruang Sublim
()
Gejala seni rupa kontemporer membuat seniman dinilai perlu mencari media baru untuk mengeksplorasi imajinasi, baik yang abstraksi maupun abstraksionisme.

OMBAK tampak tenang mengantarkan para pe laut menuju pelabuhan.

Seakan ada sesosok gadis sedang menanti di pelabuhan.Menunggu sang kekasih yang baru saja pulang melaut di samudra lepas.

Goresan kapal memang tak begitu tampak. Hanya, permainan warna dan bentuk deformasi yang sedikit membuat mata si gadis seakan berbinar-binar. Menanti pada sebuah rindu yang begitu menggebu dalam jiwanya.

Tafsiran itu begitu jelas pada karya pelukis Baron Basuning berjudul Can't Change The Past...? #1 (160x160 cm) pada pameran tunggalnya di Galeri Cemara 6, Menteng, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Pameran ini memang berbeda dengan pameran Baron sebelumnya. Pasalnya. semua judul sama sehingga karya berupa serial. Memperhatikan karya tunggal Baron membawa kita pada corak abstrak.Ia bermain pada sebuah imajinasi atas alam semesta, terutama pelawatan masa lalunya ke beberapa negara dengan cara melaut dengan kapal pesiar.

Tentu saja, pengalaman masa lalu menjadi arti penting. Ia mencoba menuangkan semua ide gilanya lewat coretan dan goresan. Meski semuanya bersifat `gelap'. Namun, ada titik-titik yang dapat kita kaji dan telaah untuk melihat kedalaman makna dan arti lewat gaya abstraksionisme Baron.

''Puncak abtraksionisme di Indonesia sebenarnya hanya terjadi selama 5 tahun, yaitu pada 19551960. Pionir-pionir berhasil. Namun, tak meninggalkan warisan.Sempat bangkit pada era 90 dengan adanya kecenderungan pelukis abstrak. Namun, pelukis abstrak saat itu sekadar ingin mempercepat proses sehingga hilang tanpa bekas karena komersialisasi,'' ujar kurator Fajar Siddik dalam sesi diskusi bersama seniman, sastrawan, dan budayawan.

Pada pameran tunggal ini, Baron menghadirkan sedikitnya 20 karya, baik yang ia buat tahun ini maupun beberapa tahun sebelumnya. Ada sebuah benang merah pameran, ini yaitu membaca masa lalu dan masa kini. Masa lalu karena Baron mengangkat konsep kalender--ruang muka dan belakang--selalu memiliki makna tersendiri.

Lewat konsep itu, Fajar mengaku Baron memiliki karakter. Terutama, pada permainan komposisi warna dalam lukisan-lukisannya, penggunaan judul naratif, dan penggunaan objek sebagai obsesi dalam menceritakan pengalaman masa lalu. “Dalam lukisan-lukisan serial terbaru, Baron ingin menceritakan kembali lewat gaya abstraksi sehingga membuat banyak tafsiran,“ paparnya.

Pemilihan media kanvas membuat Baron mencoba memanfaatkan hibrida itu untuk menumpahkan segala pengalaman hidupnya. Sebuah pencapaian atas refleksi hidup yang sudah ia tunggu selama ini.

Terlepas dari karya serbaabstraksionisme pada pameran itu, Baron masih minim dalam mengupas tentang tema. Ia menghadirkan `kegelapan' absolut sehingga karyakarya lukisnya seakan mengungkapkan tentang masa lalunya yang suram.

Memang Baron sempat menjadi aktivis pada era 90-an dan sempat terlibat dalam praktik politik praktis untuk calon legislatif dari daerah kelahirannya Sumatra Selatan. Namun, ia gagal. “Untunglah saya tidak terpilih sehingga saya bisa berkarya di ranah seni rupa,“ kilah Baron yang juga hadir, sore itu.

Chandra Johan, pelukis yang datang untuk menghadiri pameran tersebut, mengaku keberadaan abstraksionisme di Indonesia perlu untuk digalakan kembali. Pasalnya, di era kontemporer ini semua orang tidak lagi mementingkan bentuk, tetapi konsep. ''Abstrak itu berkembang dari Indonesia karena ada stupa di Borobudur yang memang abstrak hingga kini,'' cetusnya. Media baru Kehadiran Baron masuk dalam genre abstraksionisme memang membuat karya-karyanya seakan epigonis kaum Barat. Era abstrak yang menjadi perdebatan atas abstrak sebagai pencapaian tertinggi dalam seni rupa memang masih perlu untuk dikaji.

Baron memang menghadirkan karakter. Namun, ia pun masih lemah dan datar pada bidang-bidang warna. Latar belakang bukan dari seni rupa membuat Baron seakan tak memerhatikan estetika sehingga karya-karyanya belum mendekati sesuatu yang `wah'.

Budayawan Mudji Sutrisno menilai, keberadaan abstraksionisme di Indonesia perlu untuk dikaji dengan kedekatan disiplin ilmu.Pendekatan epistemologis membuat penafsiran akan lebih tepat.“Ada sublim sehingga perlu untuk melakukan pengkajian. Saya kira lukisan Basuki Abdullah sangat absraksionisme sekali sehingga itu membuat karyanya lebih matang,“ cetusnya.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Irawan Karseno, menilai keberadaan aliran abstrak dalam seni rupa perlu dimatangkan dengan konsep dan media baru agar para seniman bisa lebih berkarya secara maksimal.

''Media baru itu sebagai wadah untuk membedakan pelukis kini dan dulu. Sudah banyak seniman kontemporer yang kerap menggunakan media baru, baik video mapping atau hologram untuk melahirkan karya yang berbeda dari generasi mereka,'' pungkas Irawan. (M-2)


miweekend @mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya