Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Pembangunan harus Disesuaikan dengan Karakter Kota

Dzulfikri Putra Malawi
13/2/2015 00:00
 Pembangunan harus Disesuaikan dengan Karakter Kota
()
PERUBAHAN iklim menjadi tantangan masyarakat perkotaan khususnya di Asia Tenggara. Untuk beradaptasi maka diperlukan pemahaman yang lebih terkait kebijakan yang dikeluarkan pemerintah setempat.

Organisasi internasional ICLEI-Local Governments for Sustainability membuat program untuk pemerintah di berbagai negara mengambil kebjakan sesuai karakter dari setiap kota di negara masing-masing.

Lewat kongres internasional bertajuk Resilient Cities Asia-Pasific 2015 yang diadakan di Bangkok, Thailand, dari tanggal 11-13 Februari 2015, lebih dari 300 partisipan dari negara di Asia-Tenggara, Eropa, dan Afrika dilibatkan. Mereka adalah para pemegang kebijakan negara dan para ahli.

“Sebagian bencana alam ada di Asia, kongres ini kami bawa ke Asia dengan harapan meningkatkan perhatian dunia ke daerah ini dan mendorong kerja sama di antara kota-kota Asia baik secara teknis, keuangan, dan finansial,” ungkap Deputy Secretary General and South Asia Director of ICLEI, Emani Kumar, seperti dilaporkan  wartawan Media Indonesia Dzulfikri Putra Malawi dari Bangkok, Thailand, Jumat (13/2).

Banyak perkotaan yang masih dinilai rentan terhadap dampak perubahan iklim ini. Hal tersebut mendorong ICLEI untuk melakukan program Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN). Program yang diinisiasi oleh Rockefeller Foundation sejak 2008 ini bertujuan agar kota-kota dapat berketahanan secara mandiri di masa mendatang. Bangkok sendiri menjadi proyek awal di negara Asia-Pasifik yang sudah dilakukan sejak tahun lalu hingga setahun ke depan.

“Ketahanan kota berpengaruh dengan perencanaan kota, kami (pemerintah) harus mengkordinir seluruh isu termasuk perubahan iklum agar perencanaan kota berjalan dengan baik. Harus ada proaktif dari berbagai sektor, termasuk pariwisata yang juga terkena dampaknya,” ujar deputi gubernur Bangkok, Pusadee Tamthai.

Bangkok sendiri saat ini tengah berupaya membuat kotanya layak untuk dihuni dan aman. Berbagai fasilitas umum yang telah dibangun seperti subway, sky train, dan sepeda di dalam kota diharapkan bisa mengurangi kemacetan yang menjadi masalah besar hingga kini. “Bangkok adalah ibu kota, semua orang dari berbagai daerah banyak yang datang dan pindah ke sini. Progam ACCCRN mendorong kami untuk bisa berinovasi dengan karakter kota Bangkok sendiri. Untuk itu sekitar 5-20% menjadi area hijau bagi setiap gedung dan ruang publik,” jelas Pusadee.

Lebih lanjut, ia menuturkan kerja sama yang dilakukan organisasi-organisasi internasional adalah bentuk peran aktif yang seharusnya juga dilakukan setiap pemerintah di Asia-Pasifik. Bisa jadi pemerintah memang tidak mempunyai anggaran untuk hal ini. Maka dari itu sektor privat dan swasta diharapkan peduli dan bisa bersinergi.

Tidak terkecuali kota Melaka, Malaysia juga telah merespon isu terkait perubahan iklim. Mereka sudah mengeluarkan sekitar RM285 juta untuk merevitalisasi sungai. “Hasilnya sungai yang hitam dan berbau sekarang bisa dijadikan tempat wisata cruise,” ungkap Datuk Seri Idris Haron, Ketua Menteri Melaka, Malaysia.

Dalam sambutannya pada pembukaan Resilient Cities Asia-Pasific 2015 ia juga memaparkan keberhasilan Melaka merilis bis elektrik dan depo pengisian baterai mobil. Lalu semua hal yang terkait kebutuhan publik harus mendapatkan label materai hijau Melaka.

Membangun Jaringan

Begitu pula dengan Indonesia, lewat Mercy Corps Indonesia (MCI) sudah melakukan proyeknya di kota Bandar Lampung dan Semarang. Dimulai pertengahan tahun 2009, MCI sebagai koordinator negara dari Program ACCCRN di Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM SEAP) IPB, dan Urban and Regional Development Institute (URDI) akan mencapai 28 kota sampai tahun 2016 bersama ICLEI dengan kegiatan pelatihan penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim, penyusunan strategi ketahanan kota, proyek percontohan, studi sektor, serta dialog pembelajaran bersama dan implementasi kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Kelangkaan air bersih akibat kekeringan merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat kota Bandar Lampung. Kebutuhan air bersih sulit terpenuhi. Hal ini diperparah oleh peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan alih fungsi ruang terbuka hijau menjadi bangunan permanen. Tanpa ketersediaan air bersih yang memadai, masalah lain seperti penurunan kualitas kesehatan akan muncul dan semakin merugikan masyarakat.

Berdasarkan hasil Kajian Kerentanan (Vulnerability Assessment/VA, 2010) kota Bandar Lampung, kejadian kekeringan di Bandar Lampung sudah sering dialami oleh masyarakat. Selain itu, dalam Strategi Ketahanan Kota (Climate Resilience Strategy/CRS, 2010) Bandar Lampung, kekeringan merupakan salah satu isu yang menjadi prioritas untuk ditangani.

Program Konservasi Air Tanah Melalui Implementasi Teknologi Lubang Resapan Biopori Untuk Adaptasi Perubahan Iklim yang dilaksanakan di Bandar Lampung mulai tahun 2012 diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kekeringan tersebut. Lubang Resapan Biopori yang berbentuk silindris dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm efektif untuk membantu meningkatkan laju peresapan air ke dalam tanah. Selain berguna untuk pengisian cadangan air tanah, biopori juga dapat mengurangi tingkat genangan air,dan digunakan untuk menghasilkan kompos.

Sementara itu di Semarang pada tahun yang sama, MCI membuat proyek FEWS (Flood Early Warning System) untuk mengurangi dampak dan meningkatkan kesiagaan masyarakatterhadap potensi bencana banjir. Program tersebut meliputi pemasangan sensor banjir dan stasiun hujan sebagai peringatan dini untuk banjir limpasan sungai, pemberian informasi pasang surut sebagai informasi banjir rob, dan pembentukan dan pembinaan Kelompok Masyarakat Siaga Bencana (KSB) di tujuh Kelurahan yang dilewati aliran Sungai Bringin. Selain itu juga melakukan pemetaan jalur evakuasi, mempersiapkan sarana evakuasi dan kebencanaan serta simulasi terkait.

Tidak hanya para organisasi yang membangun jaringan, Ketiga negara ini juga bergabung dalam Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang bekerjasama untuk perencanaan dan pelaksanaan kota hijau. Manajemen air, efisiensi energi serta energi terbarukan, dan mengurangi pembuangan menjadi beberapa fokus utama.

Sejak berdirinya pada tahun 1993, kerangka kerja sama IMT - GT telah mengakui peran penting sektor swasta dalam mempercepat pembangunan kota-kota negara tersebut. Bahkan, struktur kelembagaan IMT - GT mencerminkan mekanisme ganda dan sebagian besar paralel kerjasama di sektor publik dan swasta. Sektor swasta memainkan peran utama dalam mendorong banyak inisiatif IMT - GT. Jangka waktu 1995-2005, Joint Business Council (JBC) yang menjadi sektor swasta telah memfasilitasi investasi sekitar USD3,80 miliar.

Kemitraan dari beberapa organisasi tersebut bertujuan untuk membantu pemerintah dan masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim. Mereka juga menyadarkan di saat yang sama, pemerintah dan masyarakat melakukan langkah proaktif untuk mengurangi kemiskinan. Ini menjadi langkah antisipatif untuk melindungi nyawa dan harta benda serta investasi jangka panjang melalui peningkatan kualitas hidup dan lingkungan. (X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya