Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Peran Perempuan dalam Perubahan Iklim masih Terabaikan

Dzulfikri Putra Malawi
13/2/2015 00:00
Peran Perempuan dalam Perubahan Iklim masih Terabaikan
()
PERENCANAAN dan aksi yang selama ini dilakukan dalam tataran pengambil kebijakan seringkali tidak melibatkan perempuan.

Hal ini mengemuka dalam diskusi panel Resilient Cities Asia-Pasific hari kedua Kamis(12/2), seperti dilaporkan wartawan Media Indonesia Dzulfikri Putra Malawi dari Bangkok, Thailand.

Para pembicara ahli terdiri dari Dan Lewis (Chief, Urban Risk Reduction, UN-Habitat, Nairoboi), Brianna Hunt Ficcadenti (USAID Adapt Asia Pasific, Bangkok), Mozaharul Alam (Regional Climate Change Coordinator, UNEP, Bangkok), Saleemul Huq (Director International Centre for Climate Change and Development, Bangladesh), dan Ulrich Sumptoh, (Lord Mayor, Port Vila City, Vanuatu).

Keberadaan perempuan secara tidak langsung mempengaruhi langkah-langkah yang diambil di dalam keluarga. Perempuan yang dianggap hanya mengurus dan menjaga rumah serta anak dan suami saja ,pada akhirnya juga akan merasakan dampak dari perubahan iklim juga. Pada akhinya kerentanan perempuan ini bisa merugikan keluarga sendiri.

Maka dari itu, perempuan dinilai penting untuk masuk ke dalam level perencanaan dan aksi. Nyatanya dalam keadaan sosial masyarakat perkotaan saat ini, peran perempuan sudah jauh berbeda. Mereka banyak yang setingkat dengan para pengambil kebijakan. Namun hanya terbatas pada institusi dan kesempatan tertentu.

Sementara itu, dalam adaptasi perubahan iklim diharapkan semua elemen masyarakat bisa terlibat pro aktif. Mereka harus tahu langkah apa yang diambil dan bagaimana menyikapinya.

Termasuk perempuan yang bisa dilibatkan sesuai dengan porsinya. Misalnya keterlibatan dalam tatanan keluarga, istri bisa menjadi pengatur finansial yang baik. Biaya apa saja yang harus dikeluarkan ketika bencana alam terjadi. Lalu bagaimana persediaan makan anak dan suami saat banjir datang. Jika perempuan terlibat sesuai porsinya maka adaptasi perubahan iklim juga akan berjalan dengan baik.

Regional Climate Change Coordinator, UNEP, Bangkok, Mozaharul Alam, mengatakan kerentanan masyarakat menjadi pertimbangan dalam perencanaan untuk ketahanan kota. “Hambatannya terjadi karena institusi pemerintah masih lemah dan tidak ada keterlibatan gender, semua dilakukan oleh laki-laki dan perempuan seolah terlupakan,” paparnya.

Lebih lanjut, soal kelemahan institusi pemerintahan karena mereka tidak meningkatkan pengetahuannya soal pengetahuan dari dampak perubahan iklim dan tidak mendorong masyarakatnya untuk beradaptasi dengan segera.

Director of International Centre for Climate Change and Development, Bangladesh, Saleemul Huq merekomendasikan program Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) untuk memperkuat jaringan antar negara dan institusi pemerintahan hingga ke lapisan masyarakat.

Langkah Nyata di Indonesia

Di Indonesia sendiri ACCCRN sudah dikembangkan di kota Bandar Lampung dan Semarang. Lewat Mercy Corps Indonesia (MCI) program di kedua kota tersebut yang dimulai pertengahan tahun 2009 bekerjasama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM SEAP) IPB, dan Urban and Regional Development Institute (URDI).

Nantinya akan mencapai 28 kota sampai tahun 2016 bersama ICLEI dengan kegiatan pelatihan penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim, penyusunan strategi ketahanan kota, proyek percontohan, studi sektor, serta dialog pembelajaran bersama dan implementasi kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Kelangkaan air bersih akibat kekeringan merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat kota Bandar Lampung. Kebutuhan air bersih sulit terpenuhi. Hal ini diperparah oleh peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan alih fungsi ruang terbuka hijau menjadi bangunan permanen. Tanpa ketersediaan air bersih yang memadai, masalah lain seperti penurunan kualitas kesehatan akan muncul dan semakin merugikan masyarakat.

Program Konservasi Air Tanah Melalui Implementasi Teknologi Lubang Resapan Biopori Untuk Adaptasi Perubahan Iklim yang dilaksanakan di Bandar Lampung mulai tahun 2012 diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kekeringan tersebut. Lubang Resapan Biopori yang berbentuk silindris dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm efektif untuk membantu meningkatkan laju peresapan air ke dalam tanah. Selain berguna untuk pengisian cadangan air tanah, biopori juga dapat mengurangi tingkat genangan air,dan digunakan untuk menghasilkan kompos.

Sementara itu, di Semarang pada tahun yang sama, MCI membuat proyek FEWS (Flood Early Warning System) untuk mengurangi dampak dan meningkatkan kesiagaan masyarakatterhadap potensi bencana banjir. Program tersebut meliputi pemasangan sensor banjir dan stasiun hujan sebagai peringatan dini untuk banjir limpasan sungai, pemberian informasi pasang surut sebagai informasi banjir rob, dan pembentukan dan pembinaan Kelompok Masyarakat Siaga Bencana (KSB) di tujuh Kelurahan yang dilewati aliran Sungai Bringin. Selain itu juga melakukan pemetaan jalur evakuasi, mempersiapkan sarana evakuasi dan kebencanaan serta simulasi terkait. (X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya