Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Belajar dari Karaeng Pattingalloang

Micom
03/4/2018 19:40
 Belajar dari Karaeng Pattingalloang
(Ist)

MEMPELAJARI warisan pendidikan multikultur dari kekayaan sejarah Indonesia menjadi sebuah keharusan. Salah satu caranya ialah melalui pemutaran film dokumenter.

Hal itulah yang tecermin dari pemutaran film dokumenter tentang Karaeng Pattingalloang, intelektual dari Kerajaaan Tallo, yang dikenal sebagai 'tokoh Renaissanse dari Timur' yang hidup pada abad ke-17.

Film ini disponsori Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Selatan dan Asosiasi Tradisi Lisan, yang dihelat dalam lokakarya tentang pendidikan multikultur dan tradisi lisan, di SMA Katolik Rajawali, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (3/4).

Mukhlis Paeni, narasumber dalam film ini mengatakan, Karaeng Pattingalloang adalah sosok pemimpin yang memiliki kesadaran multikulutral. Hal yang ia hidupi melalui proses belajar, menyikapi realitas beragamanya suku dan etnik di Makassar pada zamannya, yang menjadi kota pelabuhan internasional.

Dari situasi itu melalui proses belajar, baik dari keluarganya, maupun dari upayanya sendiri, yang dibuktikan dengan koleksi 15 ribu buku dan menguasai delapan bahasa asing, Karaeng Pattingalloang sampai pada kesadaran multikultural, yakni memandang bahwa 'semua orang yang berbeda-beda  pada dasarnya memiliki hak yang sama.'

"Misalnya bagaimana ia menentang permintaan Belanda agar hanya mereka yang boleh berdagang di Sulawesi. Ia saat itu menyadari pentingnya kebebasan, melawan arogansi kolonial dan menyatakan, orang yang berjuang mengarungi lautan, memiliki hak yang sama," Mukhlis, yang kini menjabat Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).

Ia menjelaskan, untuk konteks saat ini, menghidupi kesadaran multikultural ini adalah pekerjaan yang belum selesai. "Itu masih jauh, sangat jauh. Karena itu peran pendidik, termasuk guru-guru PAUD, sangatlah penting," tandas Mukhlis.

Belajar dari warisan tradisi, jelas dia, adalah salah satu pilihan. Pemahanan tentang multikulturalisme seperti itu pada dasarnya sudah ada di abad ke-17 di negeri ini. Hanya saja lama kelamaan dilupakan.

Sementara itu, Pudentia MPSS, dosen Universitas Indonesia, yang juga Ketua Asosiasi Tradisi Lisan menambahkan, Karaeng Pattingaloang hanyalah salah satu contoh dari tokoh-tokoh di masa lalu, yang mewariskan nilai-nilai yang dibutuhkan saat ini.

"Kita ini sangat kaya dari segi warisan kultur, hanya saja upaya mengarusutamakan itu dalam pendidikan masih belum menjadi pilihan," tukasnya.

Padahal di level internasional seperti di UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation) misalnya, Indonesia diakui sebagai negara dengan warisan kultur yang tidak tertandingi.

"Melalui kegiatan ini, semoga upaya kita untuk belajar dari kekayaan itu, yang perlu diteruskan kepada generasi penerus, termasuk PAUD, diharapkan bisa mendukung tercapainya harapan pemerintah, untuk membentuk manusia yang berkarakter dan berbudaya Indonesia," imbuh Pudentia. (RO/OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya