Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Mewaspadai Adiksi Perilaku

Putri Rosmalia Octaviyani
17/3/2018 18:37
Mewaspadai Adiksi Perilaku
(thinkstock)

PENELITIAN terkait adiksi atau kondisi ketergantungan terhadap satu perilaku atau kegiatan tertentu, masih sangat minim di Indonesia.

Padahal, adiksi perilaku merupakan hal yang semakin banyak dialami masyarakat seiring perkembangan teknologi.

"Saat ini adiksi bukan hanya napza (narkoba, psikotropika dan zat adiktif) saja, tapi juga adiksi perilaku menjadi masalah kesehatan mental yang sudah mendunia juga saat ini," ujar dokter spesialis kesehatan jiwa RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kristiana Siste, dalam simposium World Addictive Day 2018, di Hotel Harris, Jakarta Utara, Sabtu (17/3).

Dikatakan Katarina, saat ini penanganan adiksi perilaku masih lebih banyak besumber penelitian dari luar negeri. Termasuk untuk tes adiksi perilaku, belum ada yang diakomodir dalam bahasa Indonesia.

"Perlu penelitian lebih lanjut tentang adiksi internet ini, karena sangat dibutuhkan untuk membuat dignosis masalah itu di sini," ujar Katarina.

Kristiana menjelaskan, adiksi perilaku dapat mengarah pada ketergantungan berbagai hal. Namun, umumnya berhubungan dengan kegiatan di internet. Mulai dari bermain game, media sosial, hingga ketergantungan konten berbau seksual.

Adiksi tersebut sudah harus mendapatkan penanganan ahli jika telah menjadi hal yang tidak dapat ditinggalkan, dan menimbulkan rasa tidak nyaman, minim empati, hingga gangguan pola sosial penderita.

"Konsep adiksi perilaku memang tidak dengan memasukkan sesuatu ke tubuh, tapi menyebabkan efek psikotoprik yang sama seperti dengan ketergantungan atau adiksi zat lainnya," ungkap Kristiana.

Dijelaskan Kristiana, kesamaan gejala pada dalam tubuh orang yang adiksi perilaku dengan zat terlihat pada beberapa aspek. Mulai dari aspek neurologi atau syaraf, jenis penyakit yang ditimbulkan berupa penyakit kronik dan kambuhan, hingga potensi adiksi yang sama-sama bagian dari faktor genetik.

"Hanya memang gejala atau dampak pada fisik tidak sebesar pada adiksi zat. Lebih ke emosi pengaruhnya," papar Katarina.

Untuk melakukan penanganan, upaya tidak hanya cukup diberikan pada penderita adiksi, tetapi juga semua orang terdekat penderita. Hal itu karena penderita membutuhkan dukungan dan komitmen kuat orang sekitar untuk dapat terlepas dari kegiatan yang membuatnya ketergantungan. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya