Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
KEBAKARAN lahan dan hutan menjadi satu catatan penting, karena masih berulang dengan jangka waktu panjang.
Akibatnya, kerugian materil yang tidak sedikit dan muncul masalah kesehatan.
Gambut merupakan salah satu lahan yang rentan terhadap bencana tersebut.
Namun, ada persoalan lain terkait dengan upaya restorasi yang sedang dikerjakan oleh Badan Restorasi Gambut, yaitu minimnya peta gambut dan kecilnya skala dari peta tersebut, 1:250.000.
Kepala Pusat Penelitian Promosi dan Kerja Sama Badan Informasi Geospasial (BIG), Wiwin Ambarwulan, mengatakan, peta yang ada belum menjawab masalah-masalah di tingkat tapak.
Padahal gambut itu menyimpan karbon sangat besar, dan bila terlepas ke udara, emisinya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Sebab itu, BIG bersama dengan World Resources Indonesia (WRI) serta David and Lucile Packard Foundation mengadakan Indonesian Peat Prize, kompetisi pemetaan lahan gambut di Indonesia yang kini telah terpilih lima finalis.
"Metode yang baik terkait luasan dan kedalaman dengan prinsip metodologi cepat, akurat, terukur, serta terjangkau biayanya," kata Wiwin dalam acara pemaparan metodologi dari lima finalis di Jakarta, Kamis (25/1).
Hampir setiap finalis menggunakan data Light Detection and Ranging (Lidar) juga pemetaan yang menggunakan bantuan dari citra satelit.
Pun dengan mengukur langsung ke lapangan (ground checking) melalui proses pengeboran untuk mengetahui titik hingga kedalaman gambut.
Akan tetapi ada salah satu finalis yang menawarkan metode dengan menggunakan penginderaan daya tahan listrik (airborne resistivity).
Prinsipnya, melepas gelombang medan magnet ke lahan gambut yang akan dipantulkan kembali oleh bumi tergantung dari kandungan yang ada didalamnya.
Alat magnet seperti paralon berbentuk segienam itu dijalankan dengan bantuan helikopter agar bisa terbang setinggi kisaran 30 meter dari vegetasi tertinggi di kawasan tersebut.
Di dalam helikopter terdapat alat penerima gelombang magnet hasil pemindaian yang kemudian terhubung dengan komputer di darat.
Jika kandungan di darat penuh dengan mineral, daya tahan listriknya lemah.
Namun, jika daya tahan listrik tinggi, daerah tersebut berupa gambut.
Dari hasil pemindaian, tersebut angka 50 ohm-meter sebagai batas antara gambut dan mineral.
Jika angka lebih besar dari 50, kawasan tersebut berupa gambut. Sebaliknya, jika lebih kecil, kawasan itu penuh dengan mineral.
"Metode itu sebelumnya digunakan di Amerika dan Eropa sebagai pendeteksi sumber batubara. Lalu diaplikasikan pada pemetaan lahan gambut, hasilnya cukup memuaskan. Kesesuaiannya mencapai 70% dari pengecekan langsung yang kami lakukan di daratan," tukas salah satu anggota tim yang berasal dari Universitas Tanjung Pura, Muhammad Nuriman.
Percobaan dilakukan pada kawasan gambut di wilayah Kubu Raya, Kalimantan Barat selama tujuh hari dengan metode resistivity (daya tahan listrik).
Kemudian hasilnya dicocokkan dengan pengecekan lapangan yang memerlukan waktu sekitar dua minggu untuk 60 titik.
Proses penerbangan alat bernama SKYTEM pun memerlukan izin terbang dari bandar udara setempat, dan hanya diperbolehkan beredar selama 2,5 jam per hari.
Untuk luasan lahan di Kubu Raya sekitar 23 ribu hektare, hanya diperlukan waktu tujuh hari.
Tidak Terkendala Vegetasi
Metode itu diklaim bisa dilakukan pada wilayah manapun, hanya kendalanya ada pada cuaca.
Jika izin terbang tidak dikeluarkan, proses pemindaian harus ditunda.
Kelebihan lain, proses pengecekan langsung ke lapangan bisa dilakukan jika ada grafik yang aneh.
Seperti pada pemetaan lahan gambut di Kubu Raya, pada bagian bawan gambut terdeteksi daya tahan listrik yang tinggi, namun dipermukaan daya tahannya melemah.
Gusti Anshari tim dari Universitas Tanjung Pura pun segera mengecek langsung.
"Ternyata di bagian atas gambut itu ada sedimentasi dan oksidasi besi, karena posisinya kan berdekatan dengan laut. Titik GPS dihasilkan dari proses pemindaian sehingga kita tahu persis letaknya. Metode itu pun tidak terkendala vegetasi, karena yang disasar itu kan lapisan bawah," tukas Gusti yang juga dosen jurusan Ilmu Tanah dan Magister Ilmu Lingkungan.
Proses pengecekan langsung, tambahnya, memiliki banyak kendala salah satunya akses masuk yang jauh lalu juga menghabiskan banyak waktu karena harus membuka jalur terlebih dahulu.
Sementara SKYTEM hanya perlu dijalankan oleh satu pilot, memangkas biaya proses pemetaan.
Terkait kedalaman gambut, SKYTEM mendeteksi secara vertikal pada setiap lapisan, sehingga bisa diketahui kedalaman dengan rata-rata karena bagian bawah gambut tidak rata.
Untuk biaya, tim yang vterdiri dari DAG4PEAT dan SKyTeam terdiri dari Stanford University, Duke University, dan Universitas Tanjungpura mengkalkulasikan sekitar 3-4 USD per hektar.
Metode akan Diaplikasikan
Deputi 1 Badan Restorasi gambut (BRG), Budi Wardhana mengatakan metodologi dari pemenang Indonesia Peat Prize yang akan diumumkan pada 2 Februari mendatang akan distandardisasi oleh BIG.
Kemudian bisa digunakan oleh BRG juga pemetaan akan lahan gambut di berbagai daerah.
Hal itu juga akan sangat membantu timnya dalam merumuskan perlakuan pada suatu lahan gambut, pengecekan kubah gambut, juga untuk menentukan kawasan lindung dari gambut.
"Sehingga proses restorasinya tepat, apakah harus dilakukan pembasahan atau penanaman kembali pada lahan tersebut," pungkas Budi.
(X-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved