Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PERAYAAN Natal sewaktu kecil, kerap meninggalkan kesan yang dalam dan menjadi kenangan indah selama. Ini pula yang dirasakan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang juga Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Mgr Ignatius Suharyo.
“Ya yang paling saya gembira, sederhana sekali, saya dari keluarga sederhana. Kalau Natal itu makanannya istimewa. Setahun sekali mbeleh pitik (potong ayam). Itu saja yang kita ingat. Tentu dengan nyanyian-nyanyian yang sejak kecil diajarkan,” ujarnya sembari tertawa mengenang masa lalunya.
Selain bercerita masa kecilnya yang penuh suka cita Natal, pria asal Bantul, Yogyakarta ini mengaku jika awalnya tidak pernah terbesit cita-cita untuk menjadi pastor. Bahkan sebaliknya, ia mengandaikan dirinya sebagai polisi ketika sudah dewasa nantinya.
“Saya itu dulu, selalu saya katakan, tidak pernah ingin jadi pastor. Cita-cita saya waktu SD menjadi polisi. Itulah yang namanya jalan tuhan,” ujar pria 67 tahun ini.
Menurutnya, terdapat dua panggilan untuk mencapai kesucian dan kebaikan. Pertama adalah panggilan umum lewat jalan berkeluarga. Lalu ada pula panggilan khusus yang berlaku sebaliknya.
“Panggilan khusus itu orang-orang seperti saya ini. Kan panggilan umum untuk menuju kesucian kebaikan itu lewat jalan berkeluarga. Itu jalan yang biasa menuju kebaikan kesucian kebaikan. Orang-orang seperti saya kan tidak normal. Diberi panggilan khusus,” lanjut Monsignor.
Panggilan itu, menurutnya, muncul secara tiba-tiba. Kala itu Ignatius yang duduk di kelas 6 SD tengah melayani misa di desa. Sesudah misa, ia ditemui pastor dan ditanya mengenai minat untuk masuk seminari pendidikan imam. Seketika itupula Ignatius langsung mengiyakan.
Meski Ignatius merasa heran dengan kesigapannya, ia pun tidak menolak ketika kemudian sang pastur meminta izin kepada orang tuanya.
“Saya lulus masuk. Sesudah itu saya tidak mikir macam-macam. Sudah itu jalan saya,” tegas Ignatius yang kala itu masuk Seminari Mertoyudan.
Prinsip yang sama ia pegang dalam menjalani masa-masa selanjutnya, termasuk saat ditasbihkan menjadi imam meski sebenarnya ia ingin menjadi pastor paroki. Begitu pula kepatuhannya saat kemudian ditugaskan melanjutkan sekolah ke seminari tinggi.
Waktu terus bergulir, Ignatius terus mandat yang semakin tinggi, yakni menjadi uskup.
“Tiba-tiba saya ditunjuk menjadi uskup. Itu enggak ada sekolahnya. Tidak ada cita-citanya. (Lalu) Pindah ke Semarang. Kan tidak biasa uskup pindah tempat. Dari Keuskupan Semarang dipindahkan ke sini Jakarta,” ujarnya.
Ignatius tidak pernah membayangkan hidupnya bakal menjadi seperti sekarang. Baginya, ia hanya mengikuti jalan yang telah digariskan, biarpun itu berkelok-kelok.
Saat ini, hal yang paling penting bagi Ignatius ialah melaksanakan tugas sebaik-baiknya. “Saya itu kan selalu berfikir sederhana sekali. Tugas uskup yang paling utama adalah berdoa untuk umatnya, bukan manajer, bukan karier, atau apa. Saya yakin sebagai uskup, pimpinan agama pelayan gereja, itu berdoa untuk umat,” pungkasnya. (Zuq/M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved