Headline
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
PEMERINTAH melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) berkomitmen menghentikan angka perkawinan anak yang masih tinggi di Indonesia.
Untuk itu, kemarin, gerakan nasional Stop Perkawinan Anak diluncurkan.
Gerakan itu melibatkan lintas kementerian/lembaga, organisasi masyarakat sipil, pemerhati anak, serta media. Gerakan itu dipimpin langsung oleh Menteri PPPA Yohana Yembise di Kantor Kementerian PPPA.
"Tingginya perkawinan anak di Indonesia ini sangat berdampak besar dalam peningkatan angka kematian ibu dan bayi, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan," tutur Yohana, kemarin.
Yayasan Kesehatan Perempuan berharap ada komitmen yang kuat dalam gerakan ini.
Selain itu, gerakan ini diharapkan dapat diteruskan dalam bentuk kerja sama dalam mengidentifikasi dan mengatasi akar permasalahan perkawinan anak.
"Kita meneriakkan setop perkawinan anak. Kalau tidak menyelesaikan penyebabnya, (ini) hanya jadi slogan," ujar Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo yang hadir dalam acara itu.
Zumrotin mengatakan perkawinan anak yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masalah kemiskinan, faktor sosial budaya, interpretasi agama, serta pergaulan yang membuat mereka menikah dini. Masyarakat harus disadarkan bahwa dampak perkawinan anak sangat merugikan.
Untuk mengatasi perkawinan anak karena interpretasi agama, organisasi masyarakat harus melakukan pendekatan-pendekatan kepada tokoh-tokoh agama untuk meluruskan persepsi bahwa perempuan yang sudah akil balig ditandai dengan menstruasi dapat dinikahkan.
"Ada interpretasi agama yang lain. Pak Quraish Shihab mengartikan bahwa akil balig tidak hanya ditandai dengan menstruasi, tetapi juga kematangan berpikir," terang Zumrotin.
Pekerja anak
Berdasarkan data BPS, anak yang menjadi korban perkawinan anak di Indonesia pada 2014 ialah 722.518 atau sekitar 34,23%.
Dari jumlah tersebut, 245 ribu anak meni-kah pada rentan usia 10-15 tahun.
Praktik perkawinan anak juga memaksa mereka untuk bekerja agar mendapatkan penghasilan.
Padahal, seharusnya mereka ada di sekolah.
Menurut Deputi Perkembangan Anak Kementerian PPPA Lenny Rosalin, perkawinan anak memaksa mereka keluar dari sekolah.
Dia memaparkan, berdasarkan tingkat pendidikan, 10% anak-anak korban praktik perkawinan anak tidak pernah bersekolah, 40% hanya tamat SD dan 41% tamat SMP.
"Rendahnya pendidikan membuat sebagian besar dari mereka (anak-anak) harus bekerja di sektor informal dengan gaji rendah," tegasnya.
Dari gambaran tersebut, Lenny menyampaikan perkawinan anak merupakan masalah serius dan harus dihentikan bersama.
Dia mengatakan Kementerian PPPA tengah berupaya memasukkan pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu indikator bagi daerah yang ingin mendapatkan kategori kabupaten/kota layak anak.
(H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved