Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
BERJARAK 9,8 kilometer dari Banda Aceh, gampong di Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, tak sulit ditemukan. Gerbang masuknya berada di pinggir Jalan Banda-Meulaboh. Tsunami 2004 silam sempat meluluhlantakkan desa itu. Bangunan dan rumah-rumah tidak bersisa. Sebagian warganya pun menjadi korban. Pascatsunami, kehidupan masyarakat Gampong Nusa tak ubahnya kawasan yang baru berpenghuni. Bangunan dan jalan-jalan menuju desa itu dibangun baru. Namun, jika dibandingkan dengan desa bekas tsunami lainnya, gampong ini memang terbilang tertinggal. Kondisi itu berkorelasi dengan kesadaran akan kebersihan. Pemandangan sampah sangat kontras dengan kondisi jalan beraspal.
Namun, ikhtiar kemudian dirintis Rubama, perempuan kelahiran 17 Agustus 1985, warga asli Gampong Nusa. Ia mengubah kebiasaan masyarakat sehingga kini kampungnya memikat wisatawan. Desanya kini mandiri sekaligus sejahtera.
Kepada Media Indonesia, Rabu (18/10), Rubama berkisah tentang rangkaian kegiatannya yang berpangkal pada kecintaannya akan alam. “Saat masyarakat masih tinggal di tenda pengungsian 2005 silam, saya ikut pelatihan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Calang, Aceh Jaya. Kami, para peserta, kemudian didorong mengaplikasikan, praktik langsung,” ujar Rubama tentang awal kiprahnya.
Setelah pengungsian bubar, Rubama mengadakan pertemuan dengan warga. Namun, kaum perempuan lebih merespons sehingga terbentuklah NCC (Nusa Creation Community) dengan 120 anggota. “NCC fokus mengubah sampah anorganik menjadi produk bernilai, wadah bagi ibu-ibu dan remaja desa menciptakan produk handmade dengan bahan baku plastik semisal kemasan saset minuman,” kata dia.
Pengelolaan sampah
Usaha mendaur ulang sampah itu pun berjalan mulai 2006. Sampah organik dan anorganik pun menjadi barang berharga, seperti tas, dompet, tempat tisu, bunga, dan tas rajut yang dibuat satu hingga dua hari. “Awal 2006, program itu didukung LSM asing. Setiap kegiatan, anggota dibayar. Namun, setelah program berakhir, banyak yang mundur sehingga hanya tersisa 15 anggota perempuan. Namun, kegiatan tetap dilanjutkan,” ujarnya. Kendati seleksi alam terjadi pada tim inti, warga lain tetap terlibat sebagai perajin hingga pengumpul bahan baku sampah.
Barang-barang hasil kreasi dijual mulai Rp1.000 hingga Rp250 ribu dan kini volume pesanan terus bertambah. “Sekarang, produk kami sudah mulai dijual hingga ke Malaysia dan Amerika, kini kami mampu meraup Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan. Padahal, setelah ditinggal LSM, modal awal hanya Rp100 ribu. Itu pun hasil patungan dari anggota kelompok,” terangnya. Kini, produksi kerajinan tangan itu pun dijual sebagai paket wisata ke Gampong Nusa. “Wisatawan ditawari paket belajar pengelolaan sampah menjadi produk, tarifnya sekitar Rp350 ribu dengan dua jenis produk yang dipelajari,” ujar Rubama.
Sampah untuk iuran sekolah
Masih terkait dengan sampah, berawal dari amatannya, orangtua Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang kesulitan membayar uang bulanan Rp5.000, anak-anak pun diajak membangun Bank Sampah Nusa. Inovasi itu diimplementasi pada 2010. “Sebenarnya ini program untuk siapa saja, terutama anak-anak. Jadi setiap Minggu, mulai pukul 10.00 hingga 12.00, mereka menabung ragam jenis sampah anorganik ke bank. Mereka layaknya nasabah bank konvensional, membawa buku bank yang telah dibuat, kepada nasabah masing-masing,” lanjutnya.
Seluruh tahapan di Bank Sampah Nusa dilakukan anak, mulai pemilahan hingga dijual ke penampung ketika volumenya sudah banyak. Maka, uang bulanan untuk TPA akan dipotong dari hasil tabungan sampah itu.
“Bila sudah banyak sampah itu dipilah, ada yang menjadi bahan baku kreasi NCC juga dijual ke pengepul. Nah, kini anak-anak tak perlu lagi meminta uang bulanan TPA kepada orangtua,” papar Rubama yang juga mengajak anak-anak pengajian itu aktif dalam Nusa Biker Community (NBC) mengampanyekan aksi hijau sambil menggowes.
Festival gampong
Aksi Rubama lainnya ialah Festival Nusa. “Dalam tahapan recovery tsunami Aceh, timbul juga semangat melakukan kegiatan edukasi, pendidikan konservasi, dan beberapa lomba lomba sehingga menjadi cikal bakal adanya Festival Nusa untuk mengembalikan keceriaan anak-anak,” kata dia. Menempuh program pendidikan pariwisata di Institut Pertanian Bogor, magister ecotourism, Rubama mempertemukan sampah, pemberdayaan, dan wisata desa edukasi. “Di Bogor ada desa yang menjual edukasi sebagai objek wisata, saya terinspirasi dari sana,” jelasnya.
Ekowisata, papar Rubama, diyakini mujarab mendongkrak pendapatan masyarakat tanpa merusak lingkungan. “Wisatawan puas dan perekonomian masyarakat meningkat. Pengelolaan ekowisata mestilah ada unsur simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan, potensi yang ada di-develop, bukan menyusut,” tegasnya. Festival Nusa digelar sejak 2007. Beragam seni dan budaya Aceh dipertontonkan, mulai permainan tradisional anak-anak seperti sandal batok, sambar elang, dan petak umpet, hingga acara Nusa Berzikir serta karnaval dan pementasan seni.
Maka, lahirlah pula wisata kuliner, beragam makanan tradisional Aceh, mulai mi Aceh, ayam tangkap, asam udang, eungkot keumamah, kuah pliek, gule asam keu'ung, hingga sie reuboh. Ada pula penginapan di rumah-rumah masyarakat. “Wisatawan tidak hanya bisa homestay, tetapi juga bisa belajar pengelolaan sampah juga praktik menari tradisional,” lanjutnya. “Di sinilah juga lahir Komunitas Al-Hayah, para pelaku seni sukarela mengajarkan ilmu dan pengalaman mereka kepada generasi muda. Event ini menjaga semangat mereka,” jelasnya.
Semangat Rubama dan kawan-kawan di bidang seni diganjar undangan tampil di Sanriku International Arts Festival selama dua minggu pada 2015. Gampong kreatif “Semangat saya bukanlah semangat membangun kelompok, melainkan menjalankan konsep manajerial yang baik di suatu gampong sehingga ada income untuk masyarakat,” jelasnya.
Harmoni wisata, lingkungan, dan kultur lokal, kata Rubama, tepat bagi Aceh yang menjalankan syariat. “Kita sedang melakukan upaya mengikis pemahaman tempat wisata sama dengan maksiat, apalagi yang melarang perempuan hadir. Justru, tempat wisata punya nilai positifnya,” lanjutnya. Alhasil, area berkemah di sana bisa dibuka, padahal di area Aceh lainnya, banyak yang sudah ditutup. “Awal 2015, kami luncurkan dan jadi destinasi open trip, ternyata antusiasme luar biasa. Ada sekitar 400 hingga 500 tamu datang dan menginap.” (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved