Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Plagiarisme Mencoreng Integritas Kampus

16/10/2017 16:48
Plagiarisme Mencoreng Integritas Kampus
(thinkstock)

DUNIA pendidikan tinggi Indonesia kembali tercoreng seiring dengan terungkapnya kasus penyelewengan program akademik, termasuk kasus plagiarisme mahasiswa program S3, yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Akibat kasus tersebut, Rektor UNJ Prof Dr Djaali dicopot dari jabatannya. Lalu, Prof Intan Ahmad PhD, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, untuk sementara ditunjuk sebagai pejabat Pelaksana Harian (Plh) Rektor UNJ.

Sebagai Plh Rektor, Intan Ahmad, diminta Menristekdikti Muhammad Nasir PhD melaksanakan dua tugas utama. Pertama, membenahi program pascasarjana, terutama Program Doktor di UNJ agar sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Adapun tugas kedua mengawal jalannya pemilihan rektor baru UNJ.

Mencuatnya kasus UNJ mengingatkan akan sejumlah kasus plagiarisme yang pernah dilakukan sejumlah dosen di perguruan tinggi sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Di antaranya, kasus plagiasi yang dilakukan Prof AABP ketika masih menjadi Guru Besar bidang Hubungan Internasional di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung, Jawa Barat.

AABP menulis kolom di sebuah media cetak berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta. Rupanya, kolom itu dijiplak dari tulisan Carl Ungerer dalam Australian Journal of Politics and History, sebuah jurnal ilmiah yang terbit di Australia. Menyadari kecurangannya, sebelum dipecat dari universitas itu, AABP memilih untuk mengundurkan diri.

Kasus serupa juga pernah dilakukan oleh AA, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal di Kementerian Agama. AA kemudian juga mengundurkan diri dari posisinya sebagai dosen.

Masih ada sederet kasus plagiasi lainnya yang melibatkan kalangan akademisi, termasuk yang terjadi belakangan ini di UNJ. Kasus itu membuat kalangan akademisi tersentak. Mengapa kasus plagiasi masih saja berulang? Padahal, dampak yang ditimbulkannya sungguh serius. Misalnya, dalam bentuk rusaknya mental mahasiswa sebagai anak didik.

Terkait itu, kasus yang mirip berupa kasus kebohongan diaspora Indonesia yang dilakukan Dwi Hartanto, mahasiwa S3 di Technische Universiteit Delft Belanda, yang juga menghebohkan dunia pendidikan tinggi belum lama ini serta kasus plagiarisme yang mencuat hendaknya menjadi momentum bagi dunia pendidikan tinggi dan dunia akademik Indonesia menjaga kejujuran dan integritas.

"Kasus Dwi Hartanto yang melakukan kebohongan akademik ini menjadi pelajaran buat kita sekaligus momentum bagi orang Indonesia dan kalangan dunia pendidikan tinggi khususnya untuk menjaga kejujuran dan menjaga integritas," kata Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti, di Gedung Kemenristek Dikti, Jakarta, baru-baru ini.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengingatkan bahwa banyak orang ingin instan dalam meraih cita-cita atau kesuksesan berkarya. Padahal, sejatinya hal itu harus dicapai melalui proses kerja keras, kerja tuntas, dan kerja ikhlas dalam memenuhi standar.

"Jadi tidak bisa sekonyong-konyong orang itu sukses begitu saja di mata publik,'' ujarnya.

Ali Ghufron menyatakan, menumbuhkan dan menjaga integritas memang tidak mudah, tetapi harus diciptakan dalam suasana kondusif. Sebab untuk menjadi ilmuwan yang produktif harus ada suasana atau atmosfer yang bagus dengan hubungan yang baik sesama kolega akademik.

"Sistem ini harus kita ba-ngun dengan menciptakan tradisi etika akademik yang tinggi sehingga tidak mudah begitu saja mengakui karya orang lain," cetus mantan Wakil Menteri Kesehatan ini.

Ia mengakui saat ini ada krisis role model atau teladan dalam ketokohan akademik. Ia mencontohkan figur Habibie yang menjadi teladan dan juga yang diidolakan Dwi Hartanto sehingga kemunculannya diharapkan sebagai 'The Next Habibie'.

"Nah, apakah dia kepleset atau pembawaan karakter yang salah, walau dia berpotensi akademik. Namun, sekarang dia tengah menghadapi hukuman sosial dan hukuman akademik," ujarnya.

Meski begitu, lanjut dia, hukuman berupa sanksi sosial terhadap pelaku plagiasi dinilai belum memadai.

Menurut sumber yang enggan disebutkan jatidirinya, AABP yang mengundurkan diri dari kampusnya karena melalukan plagiasi, kini masih leluasa bekerja sebagai dosen di sebuah PTS terkemuka di wilayah Kopertis IV.

Pakar pendidikan, M Abduh Zen, berpendapat, sejatinya perguruan tinggi dan para intelektualnya diharapkan berperan memerangi dan memecahkan persoalan irasionalitas bangsa. Dalam kasus Dwi, dikhawatirkan ada semacam masalah kejiwaan.

"Apakah hasrat meraih popularitas menutupi akal sehat saudara pelaku plagiarisme? Saya khawatir ada semacam megalomania atau paranoid dalam kepribadiannya," tandas Abduh Zen, yang juga dosen Universitas Paramadina Jakarta ini. (RO/OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya