Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Perdagangan TSL masih Marak

Dhika Kusuma Winata
14/10/2017 06:53
Perdagangan TSL masih Marak
(MI/Ramdani)

PERDAGANGAN satwa liar yang dilindungi masih marak. Kurun waktu 2003-2017, tercatat 500 laporan terkait dengan perdagangan hewan liar yang diterima Wildlife Conservation Society (WCS) secara nasional. Dari jumlah aduan, tren perdagangan secara daring porsinya sekitar 40%-50%.

"Dulu banyak pembeli satwa liar untuk prestise. Sekarang muncul kecenderungan baru yakni motivasinya ekshibisionis dari para pelaku hobi yang memelihara hewan liar. Mereka ada di media sosial," ujar Direktur WCS Indonesia Noviar Andayani ditemui seusai diskusi bertema Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Online Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilin-dungi, di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kemarin.

Menurutnya, kendala terbesar dalam upaya perlindungan satwa ialah kesadaran publik yang rendah akan pentingnya konservasi. Dikatakan Noviar, masyarakat cenderung bersikap permisif terhadap perdagangan satwa dilindungi.

Sikap serupa, lanjutnya, bahkan juga ditemukan pada aparat penegak hukum. "Kami pernah menangani kasus dari awal pelaporan hingga dipro-ses hukum itu memakan waktu hingga 6 tahun," tambahnya.

Ia mengatakan penegakan hukum yang konsisten harus menjadi prioritas utama dalam upaya perlindungan satwa liar. Menurutnya, kejahatan perdagangan satwa liar statusnya setara dengan kejahatan luar biasa lainnya seperti korupsi, karena nilai ekonomi yang tinggi. Dirinya menegaskan penegakan hukum yang konsisten perlu terus didorong agar bisa memberikan efek jera kepada para pelaku.

Dalam kesempatan yang sama, Kasubdit Pencegahan dan Pengamanan Hutan Wilayah Jawa-Bali Ditjen Penegakan Hukum KLHK Achmad Pribadi mengatakan Undang-Undang No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) jelas menyatakan pelarangan untuk menangkap, memelihara, ataupun memperdagangkan satwa yang dilindungi.

Meski begitu, lanjut Achmad, ancaman pidana dalam aturan tersebut memang kurang maksimal yakni penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp100 juta. Karena itu, dirinya berharap ke depan penanganan kasus perdagangan satwa liar tidak hanya dijerat dengan UU KSDA tapi juga pidana lain seperti pencucian uang. "Kita harus membuat sesuatu yang menciptakan efek jera. Juga gerakan bahwa memelihara binatang liar itu tidak pro-lingkungan," ucapnya.

Kenakan pasal berlapis

Kanit III Subdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Idam Wasiadi menegaskan, ke depan, penanganan kasus perdagangan satwa liar tidak hanya bisa dijerat dengan UU KSDA, tapi juga berlapis menggunakan pidana lain seperti pencucian uang dan transaksi elektronik. "Bisa diperberat dengan UU ITE ancaman 12 tahun. Karena itu kan ada yang membuat situs online. Pencucian uang bisa dijerat 20 tahun," jelasnya.

Dirinya menjelaskan pengawasan untuk perdagangan satwa secara daring memiliki tingkat kesukaran tinggi. Pasalnya, menurut Idam, perdagangan secara daring lebih sulit terdeteksi jika para pelaku menggunakan IP address palsu. "Sifatnya anonim. Mereka bisa pakai proxy IP seolah-olah posisinya berada di luar negeri," jelasnya.

Ia menambahkan mungkin penjualan satwa tak hanya di internet yang umum digunakan masyarakat, tapi juga di dark web, yakni semacam internet 'bawah tanah'. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya