Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
SEORANG pria mengeluhkan kepalanya serasa berputar dan tiba-tiba. Ia juga kerap mengantuk meski waktu tidur sudah cukup. "Ditambah lagi jantung saya terasa berdetak tidak teratur. Dug dug dug... Apakah ini akibat stres?" Apa yang dialami pria paruh baya itu sebetulnya dialami juga banyak orang. Namun, mereka tidak tahu bawa apa yang dirasakan itu bisa jadi adanya gangguan irama jantung atau aritmia. "Berdebar-debar seperti irama drum atau cuma sekali getaran seperti ikan yang muncul dan menyelam kembali merupakan gejala tersering aritmia,” kata Prof dr Yoga Yuniadi SpJP(K) pada jumpa pers Mengatasi Aritmia, Cegah Kematian Mendadak, di Rumah Sakit Jantung dan pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta, Jumat (11/8).
Dalam acara sehari jelang pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, Yoga mengatakan, kesadaran masyarakat mengenai gangguan irama jantung masih rendah. Dukungan pemerintah dan fasilitas kesehatan untuk penanganan pasien gangguan irama jantung juga belum memadai. "Padahal dari 87% data pasien penyakit jantung koroner (PJK) yang meninggal mendadak di Indonesia menderita aritmia. Ini berarti jika tidak dikenali dan ditangani dengan tepat, aritmia sangat membahayakan bagi penduduk Indonesia," jelas Yoga.
Untuk itu, sambungnya, pengambil kebijakan terutama di daerah arus mendukung penyediaan peralatan di rumah sakit daerah. Sebabnya, selain keterbatasan sumber daya manusia, yakni dokter ahli aritmia, peralatan di rumah sakit juga tidak ada.
"Penyelesaian masalah aritmia tidak sepele. Fakta di lapangan menunjukkan hanya sedikit dokter ahli aritmia yang ada. Dari 1.000 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, hanya ada 28 dokter subspesialis aritmia. Sementara itu, penderita aritmia menyebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah ahli itu hanya 50% yang benar-benar aktif melakukan tindakan ablasi takiaritmia karena RS tidak memiliki alatnya," tambah Yoga.
Kalaupun ada ahlinya, ujarnya lagi, belum tentu punya alatnya. Contohnya, di Medan, Sumatra Utara, ada tiga dokter ahli aritmia, tetapi masih pinjam alat dari RS Jantung arapan Kita. "Bandung punya 2 ahli, Semarang dan Surabaya dokternya masih belajar. Makassar punya 1, Bali 1, dan Yogyakarta ada 1," jelasnya lagi. Aritmia, kata Yoga, adalah suatu kelainan pada sistem kelistrikan jantung. Aritmia bisa menyebabkan detak jantung semakin cepat (irama jantung lebih dari 100 kali/menit) atau semakin lambat (kurang dari 60 kali/menit). Bila iramanya lambat, biasanya dipasang alat pacu jantung.
Irama jantung yang tidak normal dapat menyebabkan jantung tidak mampu memompa darah secara optimal sehingga darah tidak dapat disalurkan ke seluruh tubuh secara merata. Kasus aritmia yang tersering ialah atrial fibrilasi (AF). AF merupakan gangguan irama jantung yang menyebabkan jantung berdetak sangat cepat sekali (dapat mencapai 200 kali/menit). Kasus AF di Indonesia sebesar 0,2 % dengan rasio pria dan perempuan sebesar 3:2. Penyebab aritmia ada berberapa faktor, yaitu keturunan, penyakit terdahulu yang pernah dialami, konsumsi obat-obatan tertentu, tekanan darah tinggi, gangguan katup jantung, dan usia.
"Aritmia dapat diturunkan dari orang tua sehingga anak-anak mereka berisiko mengalami penyakityang sama," jelas Yoga. Sejauh ini terapi untuk penderita aritmia, jelas Yoga, bisa dengan obat-obatan, elektroterapi (ada tiga jenis, termasuk di dalamnya teknik ablasi), dan terapi bedah. Dokter Dicky Hanafy SpJP menambahkan, pencegahan aritmia dapat dilakukan dengan gaya hidup sehat dan mewaspadai gejala-gejala aritmia yang timbul agar dapat terdeteksi lebih awal. (Irvan/Jeremia/X-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved