Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
“MESKI demikian lama-kelamaan akan sadarlah kita, bahwa pada hakikatnya tempo lebih membosankan daripada dugaan kita semula. Apalagi apabila kita menyadari bahwa dalam mengaku pun seorang mungkin masih munafik.” (hal XVII) Kalimat itu tertulis di paragraf terakhir dari exordium (pengantar) novel berjudul Rafilus karya Budi Darma. Novel itu memang bukan hal baru bagi para pencinta karya sastra. Setidaknya novel itu pertama diterbitkan pada 1988 oleh Balai Pustaka, lalu 2008 oleh Jalasutra, dan sekarang Penerbit Noura pada 2017. Tiga kali diterbitkan, cukuplah sudah menggambarkan betapa novel ini idaman.
Kutipan di atas ditulis Budi Darma pada April 1987. Itu menjadi penting untuk kemudian memahami bagian demi bagian dari novel ini. Kata kuncinya bertahan dengan stamina, dan bersabar dalam tempo. Novel setebal 386 halaman ini terbagi menjadi lima bab. Di dalamnya, semua akan dijungkirbalikkan. Nilai-nilai umum yang diterima dalam keseharian akan menghadapi proses penghancuran.
Budi Darma akan menyajikan semua detail dengan menarik. Bukan hanya alur, melainkan juga karakter, penokohan, dan hubungan antartokoh. Siapa Rafilus sedikit gambaran telah disajikan Budi Darma dalam pembukaan bab pertama Sebatang Kara. “Rafilus telah mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi. Padahal, semenjak bertemu dengan dia untuk pertama kali beberapa bulan lalu, saya mendapat kesan bahwa dia tidak akan mati. Andai kata tumbang, paling-paling dia hanya akan berkarat.” (hal 2).
Kulitnya hitam mengkilat, seperti permukaan besi yang sering dipoles dan hampir tidak pernah berhenti digosok. Keringatnya nampak bukan sebagai keringat, melainkan minyak pelumas. Dengan adanya minyak, tubuhnya menjadi semakin mengilat. Dia benar-benar tidak terbentuk dari daging. Dari sana penuturan berlanjut melalui sudut pandang Tiwar. Awalnya hanya deskripsi tentang Rafilus yang digambarkan sebagai manusia besi, lalu tentang Jumarup si orang kaya tidak sopan, selanjutnya tokoh-tokoh lain ikut diseret ke dalam cerita: Munandir si upas pos, Pawestri yang suka menulis surat panjang, Van der Klooning, Jaan van Kraal, Albatrip, dan Sinyo Minor. Kesemuanya dirangkum dalam latar kota Surabaya.
Jangan membayangkan membaca Rafilus akan menemui alur sederhana dengan jalan cerita maju, jelas, dan utuh. Rafilus justru menyajikan cerita yang seolah menyebar tanpa ada satu tujuan tertentu. Cabang-cabang yang menceritakan tokoh-tokoh pembantu bisa sangat panjang dan mendalam. Lalu ditinggalkan. Secara sederhana, novel ini berkisah tentang Rafilus. Ia dikatakan pernah mati dua kali. Badan Rafilus katanya tidak terbuat dari daging, tapi dari besi. Rafilus dengan segala keunikannya mampu menjadi cermin akan keragaman psike manusia yang polos sekaligus kompleks.
Tokoh-tokoh ajaib
Sang pengarang lalu memunculkan tokoh bernama Tiwar untuk menuliskan hidup Rafilus dan tokoh-tokoh ajaib lainnya. Tiwar digambarkan sering berpikir melantur. Tiwar sering membayangkan macam-macam. Ia sering terhantuk ke dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Suatu ketika Jumarup, seorang kaya yang dermawan di Surabaya, mengundang Tiwar dalam pesta khitanan anaknya. Memang Jumarup mengundang banyak orang meskipun tidak dikenalnya. Selain Tiwar, Rafilus diundang. Sebagai tuan rumah, Jumarup dan keluarganya justru tidak datang dalam pesta itu. Para tamu hanya dilayani pelayannya. Dalam pesta itu, Tiwar terus mengamati Rafilus. Semakin diamati, semakin tampak keanehan pada Rafilus.
Belakangan diketahui, ketidakhadiran Jumarup pada pesta itu disebabkan ia sakit parah. Tiwar suka bertanya kepada Opas Pos Munandir tentang Rafilus. Dari cerita sang Opas Pos, Tiwar banyak mengetahui tentang Rafilus termasuk Rafilus memiliki kekuatan yang hampir sama dengan seorang Belanda yang hidup sendiri seperti Rafilus. Seorang Belanda itu bernama Van der Klooning.
Pawestri meminta Tiwar agar dipertemukan dengan Rafilus. Pawestri terpesona oleh keanehan tubuh Rafilus. Tiwar segera mencari Rafilus ke rumahnya. Ia berhasil bertemu, tapi itu justru makin membuat Tiwar semakin penasaran. Setelah itu, berbagai peristiwa makin membuat Tiwar terlelap dalam pikirannya. Ia mulai melantur.
Munandir tewas tergilas kereta. Ia sendiri nyaris tertabrak kereta yang sama. Lalu kecelakaan beruntun. Ada seorang lelaki tertabrak sebuah mobil dan penabraknya kabur begitu saja. Belakangan sang penabrak diketahui bernama Sinyo Minor, yang mati ditabrak Rafilus. Tiwar mulai mengetahui asal usul Rafilus. Namun, pada saat akan terkuak, Rafilus justru tewas tersambar kereta. Kematian Rafilus ternyata mengundang masalah lain. Tak ada seorang pun yang mengenali Rafilus. Setelah ada yang tahu tentang Rafilus, ternyata muncul kejadian tak terduga lagi. Ambulans yang membawa Rafilus tertabrak kereta.
“Sekali lagi dia terlanggar kereta api. Ternyata dia memang besi. Andai kata tidak, seluruh tubuhnya pasti sudah hancur. Tubuh Rafilus masih utuh, padahal ambulansnya sudah hancur lebur. Kepala Rafilus menggelinding lagi, seolah memang sudah tak sudi lagi bersatu dengan tubuhnya. Entah dengan cara bagaimana, kepalanya meloncat ke tiang, menancap, dan mengejek orang-orang yang mendekatinya.” (hal 344).
Mungkin itu menjadikan Rafilus menarik, kejutan-kejutan yang dihadirkan sungguh tidak terduga. Budi Darma benar-benar meloncat dari batasan-batasan formal yang ada dalam realitas. Tokoh-tokohnya tak terikat ruang-waktu. Imajinasi berkembang dengan sangat liar. Meski terkadang membosankan, karena sang penulis lebih mementingkan kelebatan pemikiran daripada kelebatan peristiwa. Tapi sebab itulah, tak jarang tiba-tiba pembaca bakal berpapasan dengan imajinasi liar sang pengarangnya. Namun bagaimana pun, dua modal utama memahami Rafilus Telah Mati Dua Kali, yakni bertahan dengan stamina, dan bersabar dalam tempo. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved