Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
NYERI pinggang merupakan penyakit yang umum dialami masyarakat. Karena itu, ketika Andre, 30, mengalami gangguan itu, ia tak terlalu ambil pusing. Terlebih, gangguan itu biasa diatasi dengan pertolongan tukang urut. Jadi, tiap kali nyeri pinggangnya kambuh, dia pergi ke tukang urut langganan. Lebih dari setahun ia mengalami kondisi tersebut. Namun, awal Februari lalu, ada yang berbeda. Nyeri pinggangnya yang kambuh tak kunjung reda meski sudah berulang kali diurut. Bahkan, nyeri itu menjalar hingga ke tungkai kanannya. Ia pun mencoba berbagai obat-obatan serta fisioterapi.
"Tapi sampai dua bulan, enggak sembuh juga. Rasanya sangat mengganggu, terlebih ketika itu menjelang puasa, pekerjaan saya sedang padat-padatnya karena harus memastikan kesiapan kereta api untuk transportasi mudik Lebaran," ujar pegawai Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan itu pada diskusi kesehatan yang digelar Rumah Sakit Premier Bintaro (RSPB) di Jakarta, pekan lalu. Ketika memeriksakan diri ke RSPB, ia menjalani pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Hasilnya, ia didiagnosis mengalami herniated nucleus pulposus (HNP) alias penyakit saraf terjepit.
"Dari penjelasan dokter dan melihat gambar hasil MRI, saya jadi tahu kenapa urut, obat, dan fisioterapi tidak akan bisa menyembuhkan nyeri saya. Jelas terlihat, saraf tulang belakang saya terjepit. Itu yang bikin sakit," terang Andre. Karena itu, ketika dokter menjelaskan bahwa solusinya ialah operasi, ia pun memahami. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya ia memilih prosedur operasi dengan teknik terbaru. "Meski lumayan mahal, tapi banyak keuntungan yang saya dapat. Operasinya singkat, cuma sekitar 30-an menit. Habis operasi tidak perlu rawat inap. Rawat inapnya malah sebelum operasi karena harus ada beberapa pemeriksaan awal," paparnya. Sesudah operasi, ia pun lega karena nyerinya tak tak lagi muncul.
Pada kesempatan sama, dokter yang menangani Andre, dr Harmantya Mahadhipta, SpOT(K) Spine, menjelaskan operasi penanganan HNP terus berkembang. Yang terbaru ialah teknik percutaneous endoscopic lumbar discectomy (PELD) seperti yang diterapkan pada Andre. "Operasi penanganan HNP awalnya dilakukan dengan teknik operasi terbuka dengan pembedahan, lalu berkembang teknik operasi minimally invasive (sayatan kecil) yaitu micro endoscopic discectomy (MED). Nah, PELD ini yang terbaru, dilakukan sayatan kecil, 8 mm saja," urai Harmantya.
Sayatan 8 mm itu, lanjutnya, digunakan untuk memasukkan alat operasi yang berbentuk serupa pipa kecil. Alat itu memiliki semacam kamera yang tersambung dengan layar monitor. Dengan demikian dokter bisa melihat sasaran operasi. "Dengan alat itu dokter memotong dan mengambil tonjolan gel nucleus yang menekan saraf (lihat grafik). Dengan begitu, saraf terbebas dari jepitan dan nyeri pun bisa reda," kata Harmantya. Biaya operasi HNP dengan teknik PELD itu berkisar Rp80 juta-Rp90 juta. Memang relatif mahal, tetapi ada banyak keuntungan yang didapat.
"Karena sayatannya kecil, tidak banyak otot yang cedera, perdarahan minimal, penyembuhan luka pascaoperasi pun lebih cepat, pasien bisa lekas produktif kembali. Bahkan, operasi ini bisa dilakukan tanpa rawat inap. Angka keberhasilannya mencapai 90%-95%," terangnya.
Gaya hidup
Pada kesempatan sama, dr Luthfi Gatham SpOT(K) Spine, menjelaskan HNP terjadi ketika bantalan antarruas tulang belakang rusak sehingga gel yang ada dalam bantalan tersebut menonjol keluar dan menekan saraf. Saraf yang tertekan itulah yang memicu nyeri pinggang yang menjalar ke tungkai. "Pada sejumlah kasus, HNP bahkan bisa menyebabkan kaki sulit digerakkan," kata Luthfi. Mengapa bantalan antarruas tulang belakang bisa rusak? Menurut Luthfi, penyebabnya bisa karena trauma/kecelakaan, sering mengangkat beban berat dengan cara salah, orang yang pekerjaannya di tempat yang bergetar, terlalu banyak duduk, sering mengenakan sepatu hak tinggi sehingga tubuh kerap berada dalam posisi salah, kurang olahraga, serta merokok. Juga faktor genetik/keturunan.
"Kurang olahraga membuat otot sekitar tulang pinggang dan tulang punggung melemah sehingga mudah cedera. Adapun merokok, kebiasaan buruk itu melemahkan semua jaringan tubuh, termasuk jaringan sekitar pinggang dan punggung. Soal genetik, ada orang yang secara genetik memang lebih mudah mengalami kerusakan di bantalan antarruas tulang punggungnya," papar Luthfi. Dengan melihat faktor-faktor penyebab HNP tersebut, langkah pencegahan yang penting dilakukan ialah menjaga postur tubuh yang benar saat duduk maupun berdiri, rutin berolahraga, dan jangan merokok.
"Olahraga sangat penting, terutama yang jenis core strengthening exercise untuk menguatkan otot-otot pinggang, punggung, dan perut." Olahraga itu bahkan wajib untuk pasien HNP yang sudah dioperasi. Karena mereka berisiko mengalami HNP lagi, walaupun risiko itu hanya 1%-2% dalam lima tahun. "Dengan core strengthening exercise, akan terbangun otot-otot perut, punggung, dan pinggang yang kuat. Otot-otot itu berperan sebagai 'korset' alami yang akan menjaga struktur tulang punggung, termasuk mencegah HNP," pungkasnya. (H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved