Shalahuddin Al-Ayyubi Lahir dari Dua Ajaran

Siti Retno Wulandari
14/7/2017 23:51
Shalahuddin Al-Ayyubi Lahir dari Dua Ajaran
()

SIFAT rendah hati dan dermawan menjadi satu dari sekian banyak hal baik yang bisa dipelajari dari sosok Shalahuddin Al-Ayyubi.

Keduanya tak begitu saja terlahir dalam darah laki-laki yang dianggap kesatria ideal, baik bagi umat muslim maupun orang Eropa.

Sang ayah, Ayyub, memang mengasuhnya dalam prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan, memadukan campuran ajaran keras serta lembut.

Hidup dalam kondisi yang lekat dengan peperangan membuat Shalahuddin sempat menolak saat diminta sang paman, Syirkuh, untuk menjadi ajudannya.

Sifat sang paman yang bertolak belakang dengan ayahnya membuat Shalahuddin kecil enggan untuk ikut dalam barisannya.

Ia tidak tertarik lantaran sudah melihat dan merasakan sendiri arti perang terutama perihal penderitaan orang lain dan kerugian yang dialami pribadinya sendiri.

Meski begitu, wilayah Mesir jatuh pada pangkuan Shalahuddin di akhir Maret 1169.

Kekuasaan tersebut disebut bukan merupakan ambisi Shalahuddin karena ia menjadikan ayahnya sebagai suri teladan, sehingga ketika seseorang diberi jabatan harus diterima dengan rendah hati.

Buku Shalahuddin Al-Ayyubi; Riwayat Hidup, Legenda, dan Imperium Islam yang ditulis John Man ini memang lebih banyak mengulas peperangan yang melibatkan Shalahuddin.

Dimulai dari sebelum Shalahuddin lahir hingga menemui ajalnya pada usia 54 tahun.

Akan tetapi, bahasan akan dipertajam pada sifat-sifat Shalahuddin yang bisa dijadikan teladan bagi para pembaca.

Menegakkan zakat

Salah satunya, dalam kepemimpinannya di Mesir, ia mulai menegakkan zakat yang merupakan salah satu rukun Islam dan menghapuskan pajak yang tidak populer bagi para saudagar, pedagang, perajin, serta produse yang kemudian disambut dengan gembira.

Shalahuddin al-Ayyubi merevitalisasi perekonomian dan politik Mesir, mengorganisasi ulang kekuatan militer, serta menggalakkan pendidikan dengan meresmikan dan menjadikan Universitas Al-Azhar sebagai pusat pendidikan ahlussunnah wal jamaah.

Perekonomian tumbuh, begitu pula perdagangan dengan orang luar negeri terutama Italia. Barang-barang dari Eropa dan wilayah Timur mengalir masuk, seperti rempah-rempah, kain, dan kayu.

Jaminan nyata terkait dengan toleransi yang dimiliki Shalahuddin juga dibuktikan dengan masuknya cendekiawan Maimonides yang menjadi dokter pribadi Shalahuddin meskipun berbeda keyakinan.

Selain sebagai sultan dan panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi juga sebagai seorang ulama dan sufi.

Ia banyak men-syarah-i kitab hadis Abu Dawud dan melaksanakan ritual kesufian.

Pada masa remaja, Shalahuddin al-Ayyubi belajar Agama Islam 10 tahun di Damaskus.

Sejak usia belasan tahun, ia selalu bersama ayahnya di berbagai medan pertempuran melawan tentara salib dan menumpas para pemberontak terhadap Sultan Nuruddin Mahmud.

Shalahuddin al-Ayyubi menyatukan Suriah dengan Mesir, kemudian membangun Dinasti Al-Ayyubiyah dengan dirinya sendiri sebagai sultannya yang pertama.

Tidak lama kemudian, ia dapat menggabungkan negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maroko, Mosul, dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar.

Shalahuddin lebih dari sekadar pahlawan dalam sejarah.

Sosoknya abadi sepanjang hayat dan menjadi simbol harapan bagi dunia Arab-Islam seusai terpecah belah.

Berabad-abad setelah kematiannya, di berbagai kota, dari Damaskus sampai Kairo dan di luarnya, hingga Semenanjung Arab dan Teluk, Shalahuddin terus jadi simbol ampuh bagi perlawanan agama dan militer terhadap Barat.

Sebagai pejuang, pembangun, pelindung kesusastraan, dan teolog, dialah pusat memori Arab dan tipe ideal bagi persatuan negara Islam.

Biografi ini menghadirkan sosok Shalahuddin dan dunianya begitu detail dan hidup.

Menggambarkan sang tokoh menuju kekuasaan, perjuangannya menyatukan faksi-faksi muslim yang terus bertikai, dan pertempurannya merebut kembali Yerusalem dan mengusir pengaruh Kristen dari tanah Arab, John Man mengeksplorasi kehidupan, legenda, dan warisan abadi sang pemersatu Islam sambil menarik signifikansinya untuk dunia saat ini.

Tidak selalu benar

Beberapa bahasa terjemahan kerap kali menjadi rancu dengan struktur kata yang kurang baik. Sedikit mengganggu tetapi tidak membuat pembaca tak memahami keseluruhan isi novel.

Tetap jelas dan tergambar dengan detil perihal dunia dan hidup sosok Shalahuddin.

Tergambar pula beberapa sifat Shalahuddin yang dianggap tak selalu benar.

Terkadang kebaikannya justru membuat dia menghadirkan musuh-musuh baru.

Seperti melepaskan tawanan perang, membuat mereka memiliki waktu untuk membentuk kekuatan baru dan berbalik menyerang.

Akan tetapi, ada salah satu prinsip yang dipegang teguh perihal tidak akan membunuh jika tidak terpaksa, dalam perang di lapangan.

Shalahuddin membebaskan keluarga musuh, terutama istri para tawanan perang bersama anak dan harta mereka, tanpa beban.

Sementara itu, untuk sejarah peperangan maupun pertikaian faksi-faksi yang termuat dalam buku, tidaklah menjadi fokus utama.

Teladan sifatnyalah yang memiliki signifikansi dengan kondisi saat ini, perihal toleransi di antara umat beragama.

(M-2)

_______________________________________

Judul : Shalahuddin Al-Ayyubi: Riwayat Hidup, Legenda, dan

Imperium Islam

Penulis : John Man

Penerbit: Alvabet

Terbit : Mei 2017

Tebal : 400 halaman



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya