Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Menjadi Ibu Berdaya lewat Fotografi

Rizky Noor Alam
08/6/2017 03:45
Menjadi Ibu Berdaya lewat Fotografi
(MI/RAMDAN)

DI sebuah kedai kopi di kawasan Pasar Baru, Jakarta, perempuan bergaya tomboi itu ramah menemui Media Indonesia. Ditambah pembawaannya yang ringan, orang mungkin mengira hidupnya serbamudah dan selalu mulus. Nyatanya, Poppy Louise baru sekitar tiga tahun ini lepas dari kehidupan yang terkungkung.

"Saya adalah korban dari emotional abuse (oleh suami). Jadi selama menikah, saya tidak punya teman-teman. Hubungan dengan keluarga dan sahabat semua diputus. Lalu ada berbagai masalah yang makin lama makin besar. Akhirnya saya memutuskan untuk bercerai dengan membawa ketiga anak saya," tutur Poppy soal perceraian yang resmi terjadi tiga tahun lalu dalam perbincangan yang berlangsung Rabu(3/5).

Bukan untuk membuka kembali aib keluarga, perempuan berusia 36 tahun itu mengawali kisahnya untuk bangkit. Kebangkitan itu pun diakuinya dibangun dengan tidak mudah karena ia tidak memiliki ijazah yang menjadi modal untuk masuk ke pekerjaan formal. Empat belas tahun lalu, Poppy mengawali berkeluarga dengan meninggalkan bangku kuliah.
Ia hanya sempat kuliah selama 2,5 tahun di bidang teknologi pangan di RMIT University, Australia, sebelum kemudian hamil dan menikah, serta kembali menetap di Jakarta.

Menjadi orangtua tunggal yang menghidupi tiga anak, Poppy paham betul jika ijazah SMA tidak akan memberi penghasilan cukup. Ia pun melirik profesi fotografer yang ia nilai cocok dengan dua hal yang disasarnya, yakni pekerjaan yang tidak membutuhkan ijazah, tapi bisa membuatnya bertemu dengan banyak orang. Maklum, kehidupan antisosial yang dijalaninya belasan tahun membuat Poppy rindu dengan kehangatan interaksi luas.

Kini tidak saja membuatnya bisa bekerja di sebuah perusahaan, keahlian fotografi membuatnya bertemu dengan banyak perempuan pejuang hidup seperti dirinya.
Salah satunya tokoh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Christine Siahaan. Lewat perkumpulan yang bergerak mengampanyekan masalah HIV/AIDS ini, Poppy tergerak melakukan kegiatan kemanusiaan, khususnya menjadi jembatan suara para perempuan dan kelompok marginal. Poppy mengaku banyak belajar kisah ketegaran dari para penderita HIV/AIDS, para buruh perempuan, ataupun orang-orang dari kelompok minoritas.

Sebuah persembahan kecil pun sedang ia garap; pameran foto yang melibatkan perempuan-perempuan yang ia temui dalam berbagai aktivitas sosial itu.
"Pameran kecil, karena lebih banyak melibatkan perempuan-perempuan hebat yang saya cukup kenal secara pribadi. Saya tidak akan pernah kenal mereka kalau saya tidak terlibat dalam kegiatan kemanusiaan ini," ujar Poppy.

Nilai baik bagi anak
Meski berkegiatan dengan kelompok marginal tersebut bukan lingkungan sosial yang umum dimiliki orang, Poppy mengaku menikmatinya. Ia merasa di lingkungan itu tidak ada penghakiman atau penstigmaan terhadap orang-orang yang sempat gagal dalam kehidupan, termasuk dirinya. Sebaliknya Poppy justru merasa mendapat banyak kehangatan dan cinta sehingga lebih bersemangat dalam menjalani hidup.

Tidak hanya mendapatkan sahabat dan inspirasi, Poppy merasa berbagai kegiatannya sekarang ini berimbas baik pada anak-anaknya. Pasalnya kehidupan baru tersebut ikut membentuknya menjadi ibu yang lebih berwawasan. Interaksi dengan banyak kelompok yang termarginalkan membuat pikiran Poppy lebih terbuka akan isu kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, pendidikan, hingga nilai-nilai yang lebih pokok seperti pendidikan agama dan toleransi. Dari situ pula Poppy mengaku lebih mensyukuri hidup.

Segala nilai-nilai ini ia teruskan kepada ketiga anaknya yang sedang beranjak remaja. "Saya berikan pengajaran meskipun kadang-kadang mereka bilang saya bawel. Saya beri mereka pendidikan kesehatan reproduksi, pengamanan diri sendiri, masalah agama, serta pendidikan untuk saling menghargai satu sama lain dan menerima perbedaan," urai Poppy yang menjadi fotografer di Rosemerry Pictures.

Hal-hal seperti kesetaraan gender dan kedisiplinan, ia terapkan sehari-hari lewat cara yang sederhana. Walaupun ketiga anaknya merupakan laki-laki, Poppy membiasakan mereka melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu dan mencuci. Dengan menerima dan mensyukuri kehidupan sekarang ini Poppy berharap ia dan anak-anaknya dapat sama-sama belajar untuk berdaya bagi diri sendiri maupun masyakat. Hal itulah yang menurutnya lebih penting ketimbang mengejar kesempurnaan. Ketika hidup memang tidak ada yang sempurna maka yang bisa dilakukan ialah saling membantu agar dapat bersama mensyukuri hidup. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya