Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
JUMLAH korban persekusi yang melaporkan kasusnya ke Koalisi Anti Persekusi terus bertambah. Hingga Rabu (7/6), total sudah ada 87 korban melaporkan kasusnya ke Koalisi. Sebanyak 66 terbukti dipersekusi, 12 diduga kuat terkena persekusi, dan 7 lainnya masih ada tahap awal persekusi.
"Trennya meningkat. Selain jumlahnya, juga sebarannya, terutama di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Sudah saatnya lonceng darurat persekusi dibunyikan. Bukan untuk Jakarta saja, tapi seluruh Indonesia," ujar peneliti Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniarto dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Rabu (7/6).
SAFENet merupakan salah satu anggota Koalisi Anti Persekusi yang 'bermarkas' di Kantor YLBHI. Selain menampung laporan aduan, Koalisi yang merupakan gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu juga turut memberikan pendampingan kepada sejumlah korban persekusi.
Dijelaskan Damar, kebanyakan kasus persekusi dipicu kritik atau hinaan terhadap ulama dan agama Islam yang diunggah di media sosial oleh korban. Yang terbanyak, yakni 28 kasus, dilayangkan para korban kepada pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
"Adapun pelaku persekusi umumnya dilakukan FPI, GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-Majelis Ulama Indonesia) dan MCA (Muslim Cyber Army). MCA di sini umumnya bertugas mengumpulkan data target yang akan dipersekusi," jelas Damar.
Damar menambahkan, masifnya kasus-kasus persekusi perlu diperhatikan serius oleh pemerintah. Kepolisian khususnya, perlu diedukasi untuk bisa membedakan antara kasus-kasus persekusi dan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE. "Kita harap pemerintah juga tidak membatasi kebebasan berpendapat untuk alasan menyikapi fenomena persekusi," imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. Menurut dia, saat ini terjadi pergeseran dari persekusi terhadap kelompok menjadi persekusi terhadap individual berbasis sentimen agama.
"Dan sentimen agama itu yang paling kuat pengaruhnya di Indonesia. Ini bisa menimpa siapa saja. Karena bukan lagi kelompok yang disasar seperti Syiah di Sampang, tapi orang per orang," cetusnya.
Jika dibiarkan, menurut Alissa, persekusi yang marak bisa memasung kebebasan berpendapat di Indonesia. Ia pun khawatir, kasus-kasus persekusi bergulir menjadi kriminalisasi atau bahkan berujung pembunuhan seperti yang terjadi di Bangladesh.
"Di Bangladesh, hingga tiga tahun terakhir persekusi itu sampai ke pembunuhan. Dan itu persekusi pembunuhan menggunakan golok. Orang-orang dibunuh ketika pulang dari kantor, di jalanan dan diserbu massa. Kita tidak ingin Indonesia mengalami hal serupa. Bukan hanya persoalan penting, persekusi itu sudah genting untuk segera direspons," ujar dia.
Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz menjelaskan, merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikecam dunia internasional. Meskipun secara normatif dilakukan oleh negara, persekusi juga bisa terjadi ketika negara tidak mampu menangkal aksi-aksi persekusi.
"Dan persekusi di era media sosial ini lebih berbahaya karena potensial menyerang siapapun dengan ukuran-ukuran samar yang dibuat kelompok-kelompok tertentu. Sejatinya tidak semua orang bisa diperlakukan semena-mena tanpa justifikasi hukum," tegasnya.
Meskipun Indonesia tidak meratifikasi sistem pengadilan pidana internasional (International Criminal Court) yang diatur dalam Statuta Roma atau hukum-hukum internasional lainnya yang mengatur kejahatan persekusi, menurut Hafiz, itu tidak boleh jadi alasan pemerintah bersikap permisif terhadap aksi-aksi persekusi.
"Pemerintah bisa menggunakan pasal-pasal dalam Undang-undang Perlindungan Anak atau aturan-aturan terkait lainnya. Ada pasal-pasal yang bisa digunakan untuk mengejar (pelaku persekusi) secara hukum," tandasnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved