KARYA inovasi Dr Warsito Purwo Taruno, ilmuwan Indonesia yang menciptakan rompi antikanker yang sudah dipakai ribuan pasien, berbuntut masalah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan surat bernomor HK.06.01/IV/2444/2015 yang ditandatangani Sekjen Kemenkes pada 20 November 2015 yang berisi penghentian praktik dan riset klinik CTECH Laboratories di Alam Sutera, Tangerang, milik Warsito. Alasannya, inovasi rompi listrik yang mampu mengacaukan pembelahan sel kanker itu.
"Kami hanya ingin melindungi masyarakat. Kalau bikin mobil baru, mungkin bisa saja langsung dipakai. Obat dan alat kesehatan harus diuji dulu secara klinis," ujar Sekjen Kemenkes, Untung Suseno, saat dihubungi Media Indonesia, kemarin. Dia menambahkan Kemenkes sama sekali tidak menentang hasil temuan Warsito yang diberi nama Electro Capacitive Cancer Treatment (ECCT) dengan nama kondang rompi antikanker itu. Menurutnya, uji coba alat kesehatan tidak bisa dilakukan secara langsung kepada manusia, melainkan harus lewat hewan. Demikian juga proses yang dijalani ada perhitungan laboratorium.
Untuk itu Badan Litbangkes, Kemenristek Dikti, LIPI, akademisi, Perhimpunan Onkologi, dan RS Kanker Dharmais melakukan pengujian tersebut hingga hasilnya aman dipakai manusia. Sebaliknya sang inovator Warsito Putro Taruno justru khawatir proses tersebut akan berjalan lama. Imbasnya banyak pasien kanker hilang harapan untuk sembuh. "Indonesia belum ada pengalaman untuk itu. Jadi lama juga. Kalau mereka secara medis tidak diberikan solusi, mau apalagi," ujar Warsito dengan suara kecewa. Dia mengungkapkan mayoritas pasien kanker yang datang ke kliniknya ialah pasien yang sudah dianggap dokter tidak ada harapan hidup.
Rata-rata pasien kanker yang diberi rompi antikanker ECCT ialah kanker stadium III dan IV. "Ada 36% pasien kanker stadium III dan 51% stadium IV. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama hingga birokrasi siap menerima inovasi itu," ujarnya. Warsito juga memaparkan alat kesehatan temuannya itu golongan kelas II yang tidak memerlukan proses uji klinis terlalu lama. Apalagi, alat itu hanya menggunakan baterai dengan daya 10 volt yang bisa diisi ulang. "Sebetulnya ada alat serupa, yakni ceragem yang menghasilkan medan listrik 220 volt. ECCT tidak lebih dari lampu 12 volt. Tapi kembali lagi, kita hanya menunggu kebijaksanaan pemerintah," ujar Warsito yang telah mendapat pengakuan internasional atas inovasinya itu.
Dukungan petisi Buntut penutupan klinik milik Warsito membuat para pasien kanker gusar dan marah. Komunitas pasien kanker melayangkan petisi yang ditujukan kepada Kementerian Kesehatan dan Presiden Joko Widodo melalui change.org. Dalam petisi yang disebarkan survivor kanker payudara, Ketua Yayasan Lavender Indonesia, Indira Abidin, melalui sosial media menilai pelarangan penggunakan rompi ECCT untuk terapi kanker telah menghambat upaya pengobatan pasien kanker di Indonesia. "Padahal, setiap harinya banyak pasien baru yang ingin mencoba. Mereka umumnya ialah pasien yang telah menyerah dan mencoba berbagai pengobatan konvensional, tetapi belum berhasil," ujar Indira. (Pro/N-4)