Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Menghidupkan kembali Kebebasan Berbicara

(Her/M-4)
29/1/2017 05:30
Menghidupkan kembali Kebebasan Berbicara
Cinema21(DOK. CINEMA21)

"AKU tidak ingin kamu pergi, tapi aku juga tidak ingin kamu pulang. Aku hanya ingin kamu ada.” Itulah yang dikatakan Sipon kepada Wiji Thukul, ketika suaminya yang buron, diam-diam pulang ke rumah. Masyarakat di tempat tinggalnya berhenti membicarakan Wiji Thukul, penyair dan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang vokal menyuarakan demokrasi di masa Orde Baru. Masyarakat takut bila kemudian dianggap aparat sebagai komplotannya. Puisi-puisi Wiji lugas, kritis, dan kerap diteriakkan dalam demonstrasi-demonstrasi melawan rezim Soeharto. Pada Juli 1996, pecah kerusuhan di Jakarta, Wiji Thukul dan beberapa aktivis prodemokrasi ditetapkan sebagai tersangka pemicu kerusuhan. Wiji lalu melarikan diri ke Kota Pontianak. Selama hampir delapan bulan di Pontianak, Wiji tinggal berpindah-pindah rumah.

Sipon istrinya lantas hanya memiliki satu pilihan, menjalani hidup bersama dua anak mereka seolah dia tak memiliki suami di sisinya. Hal itu disebabkan intel masih terus mengawasi rumah mereka. Sekalinya Wiji pernah pulang, mereka bertemu di hotel hingga tersebarnya rumor Sipon telah menjadi lonte, menjajakan tubuhnya untuk mendapat uang. Kisah hidup Wiji Thukul dan keluarga­nya terutama masa-masa pelarian itu diangkat dalam film berjudul Istirahatlah Kata-Kata. Meski di awal pelariannya dia amat ketakutan, Wiji tetap berusaha menulis puisi dan cerpen dengan menggunakan nama pena lain. Dia juga berganti identitas untuk mengelabui administrasi negara. Dilansir Filmindonesia.or.id perolehan film berdurasi 97 menit karya sutradara Yosep Anggi Noen itu hingga Kamis (26/1) telah ditonton 24.265 orang.

Meski tempo ceritanya terbilang lambat dan terasa sangat alamiah seperti kehidupan sehari-hari, ada banyak adegan di film itu yang terkesan dramatis. Hal itu tidak terlepas dari kesuksesan akting Gunawan Maryanto yang memerankan Wiji Thukul dan Marissa Anita yang memerankan Sipon. Film subtittle Indonesia dan Inggris itu sempat ikut berkompetisi di Concorso Ci­neasti del Presente, Locarno International Film Festival, Swiss, 3-13 Agustus 2016. Di Festival Film Indonesia, Istirahatlah Kata-Kata menjadi unggulan dan mendapat Piala Citra untuk kategori sutradara terbaik juga penulis skenario asli terbaik. Lalu di Jogja-NETPAC Asian Film Festival, film ini meraih Golden Hanoman Award untuk kategori film terbaik.

Film biopik tersebut mengangkat drama, tragedi, tetapi diselingi humor yang cerdas dan khas. Cuplikan puisi yang di­selipkan dalam adegan-adegannya sesekali membawa penonton ke perenungan-perenungan yang dalam, contohnya ketika Wiji dalam film menuangkan kabar dari rumahnya soal intimidasi aparat yang harus dihadapi istri dan anak-anaknya. Wiji mengatakan malah ingin berterima kasih. Baginya, perlakuan mereka telah mengajarkan hal yang berharga kepada anak-anaknya, yakni soal penindasan dan kesewenangan, sesuatu yang tidak selalu bisa cukup dijelaskan dengan kata-kata. Di Solo, Sipon istri Wiji Thukul hidup bersama dua anaknya. Sipon ditekan, rumah diawasi polisi, koleksi buku-buku disita dan beberapa kali Sipon digelandang ke kantor polisi untuk diinterogasi. Mei 1998, Wiji Thukul hilang, sebulan sebelum Soeharto diturunkan dari kursi kekuasaan. Namun, ihwal hidup atau matinya Wiji Thukul, hingga kini tiada diketahui. (Her/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya