Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
PERMAISURI Raja Kesultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, 64, menyatakan pendapatnya terkait dengan Indonesia. Menurutnya, negeri ini sering menghadapi ujian dan tantangan yang mengarah ke disintegrasi bangsa dalam bentuk usaha-usaha memecah belah melalui sentimen antimultikultural dan antiperbedaan. Wakil Ketua DPD itu mengungkapkannya saat peluncuran buku berjudul Memaknai Tumbuk Ageng yang merupakan catatan-catatan GKR Hemas pada usia delapan windu (tumbuk ageng) atau 64 tahun, juga beberapa tulisan tentang program-program berbasis keragaman harus terus dikembangkan.
"Saya sangat sedih jika ada sekolah yang masih mengajarkan perbedaan, bukan keberagaman," katanya. Sekolah semacam ini, ujarnya, tidak kondusif bagi bangunan kerukunan di Indonesia ke depan. Menurut perempuan bernama asli Tatiek Dradjad Supriastuti, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa faktor penting penyebab rusaknya kerukunan kehidupan masyarakat Indonesia dalam bingkai keberagaman ialah tidak diterapkannya pendidikan berbasis multikulturalisme sejak dini.
Sistem pendidikan kita, ujar GKR Hemas, kurang memperhatikan pendidikan berbasis multikultural. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia masih belum terbebas dari masalah-masalah berkait dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan. GKR Hemas menambahkan, jika permasalahan ini tidak mendapat penanganan yang cepat dan tepat, anak cuku bisa menjadi korban perpecahan. "Suka atau tidak suka, kita ini hidup di negeri yang multietnik, multibudaya. Jika ingin survive sebagai bangsa, wajib memiliki pandangan yang multikultural dan pandangan yang menghargai berbagai perbedaan," katanya.
Sementara itu, Sri Sultan HB X mengakui tidaklah mudah membuat kata pengantar untuk istrinya dalam memaknai tumbuk ageng. Menurut Sri Sultan, tumbuk ageng atau delapan windu merupakan salah satu siklus penting bagi orang Jawa. "Karena memberi penanda seseorang memasuki masa senja," katanya.
Beramai-ramai
Buku 244 halaman itu diterbitkan oleh PT Kanisius Yogyakarta dan sengaja diluncurkan tepat di Hari Ibu. Tentu saja, Ratu Hemas tidak menulis sendiri, ada tim penulis yang terdiri atas Dr Faraz MM, dibantu Indra Syamsi, Fadmi Sustiwi, Sigit Sugito, dan Syahbenol Hasibuan. Buku yang berisi kumpulan tulisan oleh sebanyak 23 penulis itu terbagi dalam tiga subtema, yaitu Bugenvil dalam bejana pualam, Sosok pemimpin penuh perhatian, dan Ratu dengan satu juta suara.
Ratu Hemas pun cukup terkesan dengan adanya buku itu. "Seharusnya tidak mesti ada simbol untuk diri saya. Saya terkesan dengan yang disampaikan mereka (penulis) bagaimana melihat peran-peran saya itu menjadi simbol yang dapat diharapkan masyarakat. Ternyata saya masih menjadi acuan beberapa perempuan," tutupnya. (H-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved