LAKON 'Bunga untuk Mira' adalah teater pop musikal dengan kisah yang diadaptasi dari legenda Bawang Merah dan Bawang Putih. Sang produser, sutradara, sekaligus penulis skenario dan penata artistik, Mhyajo, memberi imajinasi baru nan segar serta menyentuh atas kisah yang melegenda itu.
Mhyajo mengimajinasikan Bawang Merah sebagai sebagai penari jazz kontemporer bernama Mira Margareta. Ia haus pusat perhatian. Mira selalu ditemani manajer bisnis Bob l, yang diperankan Johan Yanuar, dan dua dayang-dayang yang menangani kostum dan tata rias wajahnya. Ia jatuh hati pada Andre Reihard (Daniel Adnan), seorang promotor seni pertunjukan.
Sementara Bawang Putih adalah botanis berhati lembut bernama Puti Prabuwardhana yang tengah menyiapkan produk kosmetika berbahan dasar bunga. Namun, ia lah justru yang dicintai sejak lama oleh Andre.
Mira dan Puti digambarkan sebagai dua kutub pribadi berbeda. Mereka dipertemukan menjadi keluarga, karena ibunda Mira atau Ibu Suri (Maya Hasan) menikah dengan ayah Puti yang dikisahkan sudah tiada.
Mira sangat ekstrovert dan penuh pesona sehingga menjadi kebanggaan ibu kandungnya, Ibu Suri. Sementara Puti ialah sosok yang introvert. Terlebih, perannya di meja makan seperti selalu disisihkan Ibu Suri. Di meja makan, ia selalu ditempatkan di bagian ujung meja. Bagian tengah hanya untuk Ibu Suri, Mira, dan rekan dekatnya.
Di atas panggung Gedung Teater Jakarta, kisah Mira dan Puti dipentaskan oleh 7evennote Production digelar sepanjang dua hari pada 22-23 Desember 2018.
Mhyajo berhasil mengarahkan dua pemeran utama wanita yang berseteru Mira (Shae) dan Puti (Dea Panendra) menjadi pemain teater musikal yang memukau. Keduanya mampu berakting, menari, dan menyanyi dengan prima.
Shae pun pantas disebut sebagai aktris baru berbakat yang multitalenta. Penyanyi ini mengaku belum pernah belajar menari sebelum dilibatkan dalam proyek tersebut. Namun, ia ternyata tampil lincah, tetap seksi dan menari dengan memukau. Ini tentu berkat gemblengan Ufa Sofura sebagai penata tari dan gerak dalam teater musikal ini.
Mhyajo sendiri membagi pentas dalam dua babak, dengan 16 adegan. LPada masing-masing adegan, terasa kerja kreatif Mundo Gascaro yang menyiapkan musik latar dan lagu baru dengan sangat kental bermuatan jazz itu, terdengar sangat menguatkan jalan cerita.
Pada adegan 5 di babak pertama misalnya, Mundo memperdengarkan musik latar di atas meja makan, dengan bunyi sendok, garpu yang berdenting menyentuh piring. Ini terdengar detail, cerdas, sekaligus tetap indah.
Bunga untuk Mira' juga memperlihakan ragam tampilan kostum yang segar, fashionable, dan pas untuk tiap karakter pemain. Semua itu disiapkan Klenting Titis Wiyanti dengan detail.
Di atas segalanya, peran tata cahaya yang disiapkan Iwan Hutapea patut dipuji mampu menghidupkan dan memperindah setiap adegan. Ia tahu persis dan tidak berlebihan dalam menempatkan cahaya untuk kondisi adegan ‘dark’, hard light, aupun soft light.
Mhyajo menutup pergelaran berdurasi 1 jam 30 menit dengan tak terduga. Ia memperlihatkan adegan ‘flash back’, di mana Puti merencanakan adanya kematian. Puti ingin kembali menguasai meja makan di bagian tengah. Di mana selama ini posisi itu dikuasai ibu dan saudara tirinya.
Proyek tontonan berbayar pertama bagi Mhyajo ini sesungguhnya belum sempurna seutuhnya. Pada babak kedua misalnya, cerita bergerak terlalu lamban. Pertemuan Puti dan Andre di taman bunga, di mana Puti meminta Andre menghentikan cintanya, kurang menimbulkan greget yang bikin hati penonton jadi ikut teriris. Namun, terselamatkan dengan munculnya karakter mang Dimang, tukang kebun yang komikal.
Kendari demikian, harus diakui karya pertama Mhyajo untuk pentas teater musikal ini bakal menjadi pintu gerbang baru bagi kerja kreatif berikutnya yang lebih cemerlang. (OL-1)