Headline
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
SETELAH vakum selama lima tahun, Teddy Soeriaatmadja, 43, kembali dengan karya terbarunya, Menunggu Pagi. Lelaki kelahiran Jepang, 7 Februari 1975 itu mengaku tertantang membuat film Menunggu Pagi karena sesuatu alasan.
"Film saya yang sebelumnya, di trilogi itu seperti melukis, ada penonton atau enggak ada, tidak masalah. Film kan seperti itu, enggak semuanya akan suka, dan laku. Kalau untuk film ini saya perlu tantangan baru saja, yang sifatnya jauh lebih linear. Lebih ingin untuk coba film yang komersial aja, tujuannya sih itu," kata ayah dari Millan Haruna Soeriaatmadja itu, ketika ditemui di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Menunggu Pagi adalah karya pertama Teddy setelah dirinya usai dengan trilogi keintiman, Lovely Man (2011), Something in the Way (2013), dan About A Women (2014). Dalam Lovely Man, Teddy berhasil mengantar aktor Donny Damara yang berperan sebagai transgender menjadi aktor terbaik Festival Film Asia yang ke-6. Sedang, aktris Tutie Kirana masuk nominasi Piala Maya untuk aktris utama terpilih dalam About A Woman.
"Setelah trilogi itu, saya perlu tantangan baru," kata sutradara Banyu Biru (2005) itu.
Gayung pun bersambut. Sebuah tawaran datang dari rumah produksi IFI yang memintanya untuk menggarap sebuah film dengan tema party. Menunggu Pagi mengambil latar belakang waktu yang kurang dari 24 jam yang menceritakan tentang konflik dan romansa anak kini, bagaimana percintaan satu malam bisa terjadi dan kehidupan party goers yang melanda anak-anak Ibu Kota.
Film yang tayang di bioskop mulai 11 Oktober 2018 lalu itu diperankan oleh Mario Lawalata, Aurelie Moeremans, Arya Saloka, Arya Vasco, Juan Bione alias Bio One, Ganindra Bimo, dan Putri Marino.
Mencoba jujur
Sebelumnya, Teddy mengungkapkan, skenario Menunggu Pagi telah digarap oleh sutradara lain, namun tidak berlanjut. Begitu didapuk untuk menyutradarai film itu, Teddy mengembangkan cerita yang awalnya bermula dari seorang anak yang bercita-cita ingin menjadi disc joki tetapi dilarang orangtuanya. "Materi awal film sama sekali tidak dipakai," cetus lelaki berdarah Sunda itu.
Sutradara remake Badai Pasti Berlalu (2007) itu mengaku tidak dekat dengan skenario awal dan mengubah premis kisah, yang lebih dekat dengannya, dan yang ia ketahui. "Saya mencoba jujur," imbuh putra Rhousdy Soeriaatmadja, mantan duta besar Indonesia di Austria itu.
Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan di dunia film, alumnus jurusan human behavior, Newport University, London, Inggris, itu dikenal sebagai salah satu sutradara Indonesia yang berprestasi. Karya-karyanya termasuk out of the box, meski tidak semuanya dia rilis di Tanah Air.
Sebut saja, Something in The Way yang tak dimasukkan ke bioskop di Indonesia karena tak ingin kena potong lembaga sensor. Film yang ditayangkan di Berlin, Jerman, itu tidak dirilis di Indonesia karena khawatir memicu kontroversi. Kini lewat karya terbarunya, Menunggu Pagi, suami aktris Raihaanun itu mengaku tertantang untuk lebih banyak menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak.
Di film Menunggu Pagi, Lembaga Sensor Film (LSF) memotong sejumlah adegan dan dialog, serta mengubah kategorisasi usia penonton. Teddy manut dan mengaku tak mau berdebat kusir soal itu. "Kalau berurusan dengan LSF bukan di film ini saja, sebelumnya juga sering. Banyak yang akan lebih pantas kalau ngomongin LSF, saya hanya cerita pengalaman saya. Karena saya bikin film ya harus ikutin prosedurnya aja. Kalau ada dampak atau apa ke filmnya, ya itu urusan lain. Saya enggak pernah komentar, lebih komentar ke karya saya saja.
"Setelah Menunggu Pagi, kabarnya Teddy juga tengah dalam proses diskusi dengan duo Mira Lesmana-Riri Riza untuk proyek thriller terbarunya. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved