Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Gerakkan Budaya Membaca

Dhika Kusuma Winata
11/2/2018 12:34
Gerakkan Budaya Membaca
(DOK CHARLESBONARSIRAIT.COM)

Charles Bonar Sirait, 46, punya kegelisahan tersendiri mengenai keganderungan generasi muda saat ini yang lebih gemar menikmati referensi digital melalui media sosial ketimbang sumber-sumber cetak, seperti buku dan koran. Terlebih di tengah banjirnya informasi pada sumber digital, turut pula beredar hoaks yang gencar dan sering menyesatkan masyarakat.

Pria yang kariernya melambung sebaga pembawa acara televisi itu menilai tren budaya membaca sumber informasi tertulis dan cetak kian menurun. Sebabnya beragam. Mulai masalah kepraktisan hingga keengganan personal.

"Orang-orang lebih percaya kepada referensi digital. Padahal, referensi tertulis itu lebih kuat menurut saya. Buku memiliki isi yang bagus, koran memiliki isi yang berbobot," kata Charles saat ditemui di Jakarta, pekan, lalu pada acara penandatanganan kerja sama atau MoU lembaga pendidikan yang ia rintis bersama kampus Podomoro University.

Selain mendirikan sekolah public speaking atau komunikasi publik, ia juga mengajar di sejumlah tempat dan kampus. Sebagai orang yang menekuni dunia komunikasi publik, dirinya ingin menularkan kebiasaan membaca buku dan koran di kalangan mahasiswa. Menurutnya, peran sebagai public speaker harus bisa memotivasi dan menggerakkan banyak orang.

"Untuk menggerakkan publik kita bisa memengaruhi agar literasi membaca bisa lebih meningkat. Mau tidak mau dimulai dari universitas. Mahasiswa harus dipaksa dikampanyekan untuk membaca media cetak, seperti koran, misalnya, terkait dengan tugas kuliah mereka," tuturnya.

Menulis Buku

Charles sudah menulis 5 buku tentang public speaking. Di antaranya mengenai komunikasi untuk guru, bisnis, dan kampanye politik. Dia mengaku terjun ke dunia komunikasi mulanya dari memberanikan diri untuk menulis buku. Pria yang kini berprofesi sebagai praktisi public speaking itu kemudian mendirikan sekolah CBS School of Communications pada 2008.

"Karena saya menulis buku, lalu saya memberanikan diri. Saya pikir kok kenapa ini tidak ada sekolahnya untuk bidang public speaking," cetusnya.

Ia lalu mempelajari sejumlah ilmu di antaranya tentang bahasa, retorika, dan semiotika. Dirinya mengajar di sejumlah tempat untuk berbagai kalangan, seperti masyarakat umum, selebritas, dan perusahaan.

Menurutnya, banyak orang di negeri ini memiliki ide-ide cemerlang tapi tidak optimal dalam menyampaikannya sehingga publik tidak tergerak. Itu berlaku untuk kalangan pemerintahan dan swasta.

"Selama ini kita ngomong bertele-tele. Banyak gagasan bagus tapi bertele-tele menyampaikannya sehingga tidak menghasilkan dampak dan menggerakkan orang lain. Tidak bisa membuat publik bergerak."

Bagi Charles, keahlian berbicara di depan publik itu ada dalam setiap manusia, dan perlu dikembangkan. Siapa pun memiiki kesempatan untuk berbicara di depan publik. Bukan hanya selebritas, politikus, dan orator yang berhak menggunakan gelar pembicara publik. Namun, keahlian itu ada dalam setiap manusia dan perlu dikembangkan. (H-4)

[email protected]



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya