Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
SIAPA bilang dunia radio tenggelam dan dikalahkan digitalisasi teknologi. Faktanya kehadiran radio masih masif jika dibandingkan dengan televisi meski pertumbuhan bisnisnya tidak sebesar televisi.
Menurut Presiden Direktur (Presdir) PT Mahaka Radio, Adrian Syarkawie, radio masih memiliki pendengar meski mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun lalu. Berdasarkan hasil diskusi dengan lembaga riset Nielsen, penurunan itu terjadi karena migrasi pendengar dari cara mendengarkan radio konvensional ke digital seperti streaming.
Jadi, sebenarnya radio masih memiliki pendengar, yang membedakan platform yang digunakan untuk mendengarkannya.
“Walaupun belum semua radio mempunyai aplikasi streaming, secara keseluruhan orang masih mau mendengarkan radio karena sekarang sudah ada fitur radio di handphone masing-masing. Jadi, kita sudah melihat potensinya masih bagus dan aman bahkan digital yang katanya trennya luar biasa justru jadi benefit,” terangnya di Jakarta, pekan lalu.
PT Mahaka Radio (MARI) menyadari pentingnya bersahabat dengan digital, bahkan melakukan ekspansi untuk memperbesar market share. PT MARI sebelumnya hanya memiliki 3 radio, yakni Jak FM, Gen FM Jakarta, dan Gen FM Surabaya. Dengan pasar yang telah dimiliki, PT MARI menambahkan lagi, yakni Hot FM, Kis FM, Mustang FM, dan Lite FM. Ekspansi ini dilakukan mengikuti keputusan perusahaan sebagai perusahaan Tbk.
“Jadi otomatis dengan kondisi kita nambah radio ada HOT FM kemudian ada KIS FM Mustang FM, dan Lite FM. Yang kita akuisisi harapan dan target untuk memperbesar market share sehingga ke depannya angka market share yang kita kejar di angka 59%-65%,” tambahnya.
Digital
Digital, menurut penyiar Gen FM Kemal Mochtar, menjadi keniscayaan dan digemari pendengar belakangan karena transisi radio konvensional ke digital perlahan berjalan 2-3 tahun belakangan. Namun, selama Jakarta masih macet, radio masih dibutuhkan.
“Kalau ditanya pendengar ke mana, cabut semua ke digital. Jadi digital ini sudah menjadi favoritlah semua orang. Cuma alhamdulillah Jakarta ini masih macet. Di situlah kita mengisi,” serunya dengan santai.
Tidak hanya Indonesia, pergeseran radio ke digital juga dialami negara lain, seperti Australia dan Singapura. Bahkan di Swedia, radio konvensional sudah hilang pada 2011.
Meski sudah mulai menyesuaikan dengan tren digital, radio sebagai media konvensional tetap ada. Platform digital di PT MARI diposisikan sebagai pelengkap untuk mendukung supaya market-nya bisa diraih dengan lebih besar. Misalnya Jak FM sama Gen FM, pendengar keduanya hanya orang Jakarta, tapi begitu memasuki digital berupa streaming radio, pendengar banyak yang berasal dari luar Jakarta.
“Contoh Hot FM launching itu baru loh kita lakukan promosi melalui media sosial dan semua platform digital begitu launching bahkan banyak yang datang launching itu dari luar kota, ada yang dari Balikpapan, Sulawesi, dan Kalimantan. Berarti kan market-nya sudah bisa lebih lagi, padahal radio itu kan market-nya sangat lokal. Jadi, secara market dia bisa jauh lebih luas daripada sekarang,” ujar Adrian.
Tantangan
Kehadiran digitalisasi ternyata membawa tantangan tersendiri, yakni kreativitas. Pasalnya persaingan tidak hanya di industri yang sama, tapi juga di luar industri media. Misalnya di Youtube atau media sosial lainnya.
HOT FM, misalnya, yang segmentasi dangdut dan melayu pun melakukan penyesuaian. Selain siaran konvensional, siaran stasiun ini dapat diakses melalaui streaming radio dan live video di Youtube.
Menurut salah satu penyiarnya, Kojek, media sosial harus dimanfaatkan untuk membuat pendengar dekat dengan mereka. Kojek dan rekan penyiar lainnya juga mem-posting lawakan segar mereka di akun Instagram.
“Contohnya, kita punya misalkan ‘Tahan Tawa Battle’ antara penyiar satu dengan penyiar 2. Sama paling ada sesi-sesi ‘Bengkok (Belajar Cengkok)’ karena kan HOT FM muterin lagu dangdut sama Melayu. Kita Mahaka kan punya segmentasi masing-masing kan ya. Kalau Jak FM lebih matur, Gen FM anak muda dan lagu-lagu Indonesia. Jadi memang mereka sudah memiliki pakem-pakem sendiri,” tambah Kojek yang merupakan seorang rapper Betawi juga.
Setali tiga uang dengan HOT FM, Kemal menggunakan media sosial untuk mengundang topik pembahasan hingga kuis. “Gen FM juga gitu, jadi apa yang ada di radio, di Twitter, Instagram, Facebook, di video-video juga. Tapi enggak berarti plek-plekin dimasukin ke digital. Jadi lebih ke cara menarik pendengar lewat digital,” tuturnya.
Dengan digitalisasi, Kojek merasa saran yang diberikan pendengar bisa menuntut penyiar untuk lebih kreatif dalam menghasilkan konten. Radio pun kadang melakukan gathering dengan pendengar sebagai ruang untuk saling dekat dan menggali saran.
“Paling malah kita dituntut untuk lebih kreatif. Kalau di online atau digital kan beda, kita dituntut untuk lebih ekspresif lagi. Kita harus bisa semua lini,” jawabnya dengan tertawa ringan.
Pilihan
Bagi Adrian, keputusan PT MARI melakukan go public ialah pilihan. Pasalnya pengembangan butuh pertimbangan yang matang karena menggunakan modal sendiri. Sementara itu, kondisi industri luar biasa berkembang dan perubahannya cepat sekali. Pilihan go public dilakukan agar perusahaan mendapatkan modal dari publik sehingga rencana ekspansi maupun pengembangan bisnisnya bisa lebih cepat direalisasikan.
“Sehingga perubahan market-nya bisa segera kita kejar. Tapi kalau kita menggunakan modal sendirikan butuh waktu yang lebih lama,” tukasnya.
Radio sebagai industri media masih dinilai menarik dan menjanjikan. Meski belum menjanjikan seperti media lainnya, secara growth bottom radio memiliki peluang. “Cuma ya memang tren digital sekarang yang dilihat hanyalah dari sisi atas growth-nya berapa, tapi bottom dan belum profit kalau radio kita mungkin secara topnya masih jauh bila dibandingkan dengan TV, tapi secara bottom bisa lebih sehat daripada industri media mana pun karena marginnya kita bisa main di 52%,” jelasnya. (*/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved