Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
BUKU trilogi Negeri 5 Menara menampilkan tokoh anak dari perspektif pengalaman pribadi sang penulis, Ahmad Fuadi. Empat tahun setelah buku terakhir Negeri 5 Menara dirilis, kini ia merilis buku fiksi terbarunya berjudul Anak Rantau. Buku itu juga menampilkan tokoh anak walaupun bukan dari sudut pandang pengalaman pribadinya lagi. Menurut Fuadi, sosok anak ialah tokoh yang memiliki karakter jujur dalam berkisah, tetapi juga memiliki daya berontak yang besar, sehingga mampu memperkaya alur cerita. Dalam buku ini dikisahkan tentang seorang anak yang memiliki luka masa lalu.
Ia belajar dari tokoh-tokoh di kampung halamannya yang juga memiliki kondisi yang sama, penuh luka dan selalu mencari obatnya. Untuk menulis buku tersebut, butuh waktu riset selama empat tahun, diawali dengan kegiatan residensinya di Danau Como, Italia.
Keindahan danau mengingatkannya kepada Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, kampung halamannya. Ia menemukan ironi karena di tengah keindahan itu banyak permasalahan masyarakat. "Saya ingin mengkritik masyarakat itu sendiri. Tempat itu indah, tapi dikotori dengan narkoba. Buku ini juga mengingatkan kepada orangtua agar mau mengawal pendidikan anak-anaknya supaya tidak terjebak hal negatif," kata Fuadi saat berbincang di Kantor Media Indonesia, beberapa waktu lalu.
Penulisan kisah pun berkembang menarik kelokalan yang selalu dipegang teguh sang penulis pada setiap karyanya. Kali ini filosofi Minang 'Alam terkembang jadi guru' menjadi landasan kisahnya. Apalagi, situasi yang ditulis dalam fiksi itu belakangan juga terjadi di masyarakat Indonesia. Bagaimana masyarakt selalu ditantang untuk meredam amarah dari dua kubu yang terpecah soal pandangan hidup. Bagi Fuadi, obatnya adalah maafkan, lepaskan, dan lupakan. "Setiap orang pernah punya luka. Yang tidak sembuh adalah luka masa lalu karena baru bisa memaafkan dan melepaskan, tapi tidak melupakannya. Kisah di sini soal petualangan, kriminal, dan keluarga yang muaranya adalah rekonsiliasi dengan diri sendiri dan masyarakat yang menjadi kisah dari karakter masing-masing," lanjutnya.
Saat baru dirilis dalam pemesanan daring, buku tersebut menjadi best seller di situs Bukabuku.com dengan 2.000 pemesanan kurang dari satu bulan.
Dari akar
Tantangan untuk merekonsiliasi bukan hanya dalam kisah fiksi yang dibuat Fuadi, melainkan juga dalam realitas dunia penulisan yang masih banyak menghasilkan masalah. Apalagi, ketika bicara soal persaingan. Tidak sedikit penulis justru salah ambil langkah dengan mengabaikan kearifan lokal yang menjadi kekuatan bangsa ini. "Saya percaya cerita yang kuat datang dari hati. Cerita dari hati selalu datang dari akar kita, ditambah dengan pengalaman," kata dia. Oleh karena itu, tutur Fuadi, wajar bila hal itu terjadi karena penulis berstrategi untuk bertahan hidup.
Ditambah, sistem peredaran dan apresiasi terhadap buku di Tanah Air terbilang minim sehingga ia pun mengambil langkah memiliki agensi sendiri untuk menyebarluaskan bukunya. Yang ditulis Fuadi dalam kisah fiksinya juga terjadi dalam kehidupan nyata sebagai penulis dan bagian dari masyarakat. "Muaranya adalah merekonsiliasi secara luas, yakni mengobati banyak luka, menumbuhkan banyak maaf," pungkasnya. (H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved