Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
MEDIA sosial yang sejatinya diciptakan untuk menjalin persahabatan dan hubungan belakangan mulai berubah bentuk. Konten bernada permusuhan, ujaran kebencian, dan konten negatif lainnya berseliweran di media sosial. Keprihatinan dikemukakan psikolog Seto Mulyadi, terlebih karena banyak penyalahgunaan medsos dilakukan kalangan remaja.
Sejumlah penyalahgunaan medsos oleh remaja termasuk ujaran kebencian, cyber bullying, pornografi, bahkan pemerasan.
“Jadi anak terpaksa membayar uang supaya fotonya (pornografi) tidak disebar, banyak kasus seperti itu,” ujar Seto bernada prihatin di Kantor Kementerian Komunikasi dan Infomatika RI, Jakarta, Senin (5/6) sore, setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan fatwa soal hukum dan pedoman bermuamalah di media sosial.
Pria yang sejak tengah tahun lalu menghidupkan kembali Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu mendukung fatwa MUI. Ia berharap medsos bisa menjadi sahabat anak dan ramah anak.
Kunci menyelamatkan mereka dari medsos, bagi Seto, dengan menciptakan lingkungan yang ramah anak, mulai rumah, tingkat RT dan RW, sekolah, kelurahan, baru kemudian kota dan kabupaten layak anak. “Saya melihat banyak kota dan kabupaten yang ramah anak, tapi internalnya enggak. Jadi sekadar slogan atau kebanggaan bupati atau wali kota, tapi tidak sampai menyentuh ke bawah,” tukas Seto.
Syarat
Meski begitu, Seto tidak menghalangi anak mengakrabi gawai. Namun, itu tetap dengan pendampingan orangtua dan memenuhi sejumlah syarat yang disepakati melalui rapat keluarga. “Lalu ada saatnya diet elektronika, baik televisi, media sosial, gadget, apa saja,” paparnya. Orangtua, kata Seto, juga tidak boleh memosisikan diri sebagai bos yang serbamemerintah anak. “Di rumah kami tidak ada cara begitu, anak mengkritik orangtua boleh,” ungkapnya. Seto mengaku sempat ditegur anaknya karena membuka ponsel di luar waktu yang disepakati.
Implementasi pilihan menjadi sahabat anak juga merembet ke banyak sendi kehidupannya yang lain. “Untuk saya bisa ke sini saja itu harus izin anak-anak, jadi anak-anak juga begitu,” ungkapnya sembari membuka selembar kertas yang berisi agendanya setiap hari. Menurutnya, jadwal kerja seperti itu biasa dia fotokopi, bubuhi warna di beberapa bagian, lantas ditempel di rumah sehingga semua anaknya bisa tahu.
Di sisi lain, anak juga patut diajak berdiskusi soal perilaku bermedia sosial yang tidak baik. Lagi-lagi sebagai sahabat anak, orangtua tidak sakadar melarang anak melakukan ini dan itu. Lagi pula semakin dilarang, seringnya anak justru malah melawan. (Her/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved