Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

08/7/2019 21:57

Seribu Periuk Tanah dari Desa Woedoa

PULUHAN ibu di Desa Woedoa, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Negekeo, Nusa Tenggara Timur, menghidupkan kembali budaya yang sudah mulai punah yakni ritual pembuatan seribu periuk tanah.

Bertempat di sebuah Sanggar Komunitas Anak Muda Desa, Senin (8/7), para ibu dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan keahlian masing-masing.

Semua pembuatan periuk tanah ini menggunakan peralatan sederhana dan masih sangat tradisional seperti menggunakan kayu  dan batu laut.

Mula-mula tanah liat yang telah dikumpulkan ditumbuk oleh para ibu agar menghasilkan tanah yang lembut dan halus tanpa butiran pasir. Lalu tanah liat yang telah halus dibentuk menyerupai silinder padat yang kemudian dipindahkan ke kelompok ibu-ibu lain untuk dibentuk menjadi periuk tanah. Ada 13 tahapan yang harus dilalui dalam pembuatan periuk tanah ini.

"Pembuatan periuk tanah ini adalah sebuah acara adat warisan nenek moyang kami yang mulai hilang dan kami berniat untuk membangkitkan kembali agar tidak punah sehingga berlanjut bagi anak cucu," kata ketua komunitas Na’a Ana, Konstatinus Dhae.

Baca juga: Terlalu Asin, Air Sumur di Desa Waekokak Hanya Untuk Cuci Kaki

Menurutnya, pada proses pembuatan laki-laki dan perempuan mempunyai peran masing-masing. Laki-laki bertugas untuk mengambil tanah liat dan menjual periuk tanah sedangkan perempuan membentuk tanah liat menjadi periuk tanah.

"Ritual tu podo atau pembuatan periuk tanah ini adalah sebenarnya salah satu ritual permulaan dari kalender adat suku Ndora dan diakhiri dengan ritual dai atau berburu adat," Katanya.

Tokoh masyarakat Ndora, Yeremias Rae, mengatakan membuat periuk tanah menjadi pekerjaan nenek moyang orang Ndora. Setelah periuk tanah jadi, akan dibawa oleh para lelaki untuk dibarter dengan aneka bahan pangan dengan warga dari pantai selatan dan Kabupaten Ende.

"Dulu biasanya setelah periuk tanah jadi, laki-laki akan pergi barter dengan jagung, padi, untuk satu buah periuk tanah diganti dengan padi atau jagung dengan jumlah dua kali penuh periuk yang ditukar," jelas Yeremias.

Ritual adat pembuatan periuk tanah ini hanya berlangsung sekali dalam setahun sekitar Juli hingga awal September ketika memasuki upacara berburu adat atau dai.   

Tanah yang diambil untuk pembuatan periuk tanah tidak sembarang diambil oleh para ibu ini. Menurut mereka ini adalah tanah yang diberkati oleh para leluhur karena memasuki upacara adat khusus sebelum pengambilan tanah ini. Mereka meyakini bila tak dilakukan upacara, periuk yang dihasilkan akan mudah pecah atau tidak akan berhasil.

Lusia Bezo, 62 tahun mewarisi keahlian membuat periuk tanah dari ibu kandungnya sejak umur 17 tahun. Ia menuturkan, terdapat sejumlah pantangan bagi perempuan yang hendak terlibat dalam upacara pembuat periuk tanah ini.

Beberapa pantangan ketika pengambilan tanah untuk pembuatan periuk di antaranya tidak dalam masa haid serta hamil. Selain itu pada proses pembentukan periuk tanah perempuan harus pantang minum moke (hasil penyulingan air sadahan pohon enau), dan tidak mengonsumsi daging ayam.

"Selain itu tidak boleh maki-maki atau mengeluarkan kata yang tidak sopan karena salah satu bentuk menghargai tanah karena kita berasal dari tanah. Tanah yang menghidupi kita dan pendukung hidup kita, sehingga kita memanfaatkan dan nikmati dengan baik, tanpa merusak sehingga tidak terjadi kesialan," tutur Lusia.

Bagi para ibu ini melapetaka akan menimpa hidup bila segala pantangan yang dilakukan dalam ritual ini diabaikan.

Seribu periuk tanah yang dihaslkan dari ibu-ibu ini rencananya akan dibagikan pada lima desa tetangga yang nantinya akan diparadekan pada Festival Literasi di Kota Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo pada awal agustus. (X-15)
 

Baca Juga