Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Kegetiran Panjang Rohingya

Teks: MI/ Sumaryanto Bronto
16/12/2017 23:00
Kegetiran Panjang Rohingya
(AP / WONG MAYE-E)

AP / WONG MAYE-E

DI tengah berbagai keterbatasan, manusia kerap tetap bisa menemukan kebahagiaan. Namun, di kamp pengungsi di Gundum dan Kutupalong, bagian selatan Bangladesh, tampak tidak sedikit orang yang sepertinya benar-benar kehilangan cahaya kebahagiaan.
Sorot mata mereka penuh kegetiran sekaligus trauma. Mereka ialah perempuan-perempuan pengungsi Rohingya yang mengaku menjadi korban pemerkosaan militer Myanmar. Kantor berita Associated Press memberitakan pemerkosaan terhadap kaum perempuan Rohingya oleh pasukan keamanan Myanmar dilakukan sistematis.

Kesimpulam tersebut diperoleh AP setelah lembaga berita tersebut mewawancarai sejumlah korban, termasuk seorang perempuan berusia 29 tahun dan para gadis yang melarikan diri ke Bangladesh. Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok terbesar dari lebih 600 ribu muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar ke negara tetangga, Bangladesh. Banyak dari mereka hanya membawa pakaian yang melekat di badan.

Diimpit kebutuhan hidup di tempat baru di dekat perbatasan tanpa prospek kerja, para pengungsi berjuang menjalani apa pun yang bisa mereka lakukan untuk bisa bertahan hidup. Sedikit penghiburan ialah anak-anak yang masih memiliki keceriaan mereka. Di antara gubuk-gubuk beralaskan tanah dan beratapkan terpal plastik, mereka bermain dan belajar.

PBB memperkirakan 60% dari 600 ribu lebih pengungsi yang tiba di Bangladesh sejak akhir Agustus ialah anak-anak. Banyak yang melintasi perbatasan sendirian dari desa mereka di Negara Bagian Rakhine, barat Myanmar, setelah orangtua mereka dibunuh dan masyarakat terusir oleh kekerasan yang terjadi. Setelah tercerai-berai dari keluarga, mereka kembali menemukan kebersamaan di kamp pengungsian. Bagai pelangi, jiwa-jiwa polos itu sekaligus mengusap sedikit getir perjalanan etnik paling tertindas itu. Kini tinggal bagaimana dunia internasional juga harus bertindak untuk mencegah kegetiran itu kian panjang. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya